Catatan M. Dahlan Abubakar
SAYA tidak perlu ke Kendari untuk ikut menyemarakkan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 di tengah wabah pandemi Covid-19. Presiden Joko Widodo saja hadir secara virtual di Kendari, apalagi saya yang mungkin tidak begitu penting.
Saya bisa berkontribusi dalam HPN melalui catatan kecil ini, yang mungkin ada manfaatnya bagi insan pers Indonesia dalam kaitannya bertutur secara tertulis di medianya masing-masing agar terhindar dari “hate speech” (ujaran kebencian).
Beberapa hari terakhir ini di media sosial ramai berbagai komponen di Kalimantan memprotes ujaran seorang EM yang diduga menghina dan mencederai perasaan para penghuni pulau itu.
Protes ini bermula setelah beredar luas ucapan yang bersangkutan melalui media sosial. Awalnya, yang bersangkutan memprotes pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur.
Alasannya, lahan ibu kota negara baru itu tidak strategis dan tidak cocok untuk berinvestasi. Dia juga sempat menyebutkan istilah “tempat jin buang anak” saat sedang membicarakan Ibu Kota Negara (IKN) baru.
Etika Berbahasa
Salah seorang guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dalam suatu berita di media daring menilai ucapan EM yang berkaitan dengan “tampat jin buang anak” semata-mata menunjuk pada suatu tempat yang jauh dan tidak berkaitan dengan ujaran kebencian.
Pandangan ini sebenarnya tidak merujuk kepada analisis wacana yang dikenal dalam ilmu linguistik. Sebagai seorang yang melakukan penelitian dalam kaitan dengan analisis wacana kritis, saya kurang setuju, bahkan kecewa dengan pandangan guru besar tersebut yang sama sekali tidak mencerminkan analisisnya sesuai latar belakang akademiknya.