PEDOMANRAKYAT, Makassar – Hari ini, Ahad, 6 Maret 2022, sekitar pukul 16.00 Wita, jagat penulis buku otobiografi Sulawesi Selatan kehilangan seorang sosok kreatif yang sering menggunakan nama pena Andhy Pallawa.
Kepergian almarhum menyisakan kita di Sulawesi Selatan perginya seorang penulis biografi yang produktif.
Terakhir saya menerima karyanya berjudul “Biografi Inspiratif AKBAR SILO Meniti Hidup Merajut Makna” yang ditulisnya bersama dengan Ikhwanul Qiram.
Almarhum Andhy Pallawa telah menulis puluhan biografi dan mengedit sejumlah buku lainnya. Setiap dia usai menuntaskan menulis satu buku, saya tidak pernah lupa dia kabari.
“Masih di percetakan Jakarta,” begitulah tambahan kalimatnya jika buku itu belum tiba di tangannya. Dia juga sering menambahkan, “saya akan segera kirim”.
Selalu memperoleh hadiah buku dari almarhum, saya pun tidak pernah absen menghadiahkan buku karya-karya saya. Ketika saya menerbitkan buku otobiografi berjudul LORONG WAKTU (hlm 550-553) almarhum juga ikut berkontribusi di dalamnya dengan mengirim tulisan berjudul ““Duduk Seperti Kucing, Melompat Seperti Harimau”.
Selengkapnya almarhum menulis begini: “Saat akan memulai tulisan ini, saya teringat dengan ungkapan hikmah dari Ibnu Qudamah Al-Maqdisi yang membahas tentang sikap rendah hati atau tawadhu. Ahli fikih kelahiran Palestina ini mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya pada diri seseorang terdapat dua sisi dan pertengahan. Ada sisi yang cenderung berlebihan atau sombong, dan ada sisi yang condong pada kekurangan atau kehinaan.
Di antara keduanya, ada pertengahan yakni rendah hati alias tawadhu. Inilah sikap yang terpuji, yakni merendahkan hati tanpa menghinakan diri”.
Di mata saya, H.M.Dahlan Abubakar adalah sosok yang rendah hati. Ini dibuktikan dengan kemampuannya membaur dengan semua kalangan dalam segala situasi. Wilayah dan jelajah interaksinya seolah tak bertepi sebab menembus semua sektor dan teritori pergaulan.
Pikiran dan tindakannya bisa terkoneksi dengan bermacam jenis orang yang memiliki beragam pandangan dan kepentingan. Bersisian dengan itu, dia juga terbuka dengan saran atau masukan dan tidak keras kepala untuk selalu merasa benar. Tak heran jika Pak Dahlan – begitu kerap saya sapa – sukses meniti perjalanan kariernya sebagai wartawan dan guru dari para wartawan.
Sebagai wartawan, dia sukses membetot sejumlah penghargaan atas tulisan-tulisannya, dan sebagai guru, beliau telah mencetak puluhan wartawan dan penulis andal.
Sengaja saya menekankan aspek kerendahan hati, sebab dalam amatan saya, hal tersebut kini sudah menjadi “barang langka”. Di era hiperkompetetif dan individualis saat ini, seperti lirik musik country, “Menjadi rendah hati sulit saat Anda merasa sempurna dalam segala hal”.
Fenomena konyol ini nyaris tertampakkan di hampir semua palagan kehidupan termasuk di dunia kewartawanan. Di banyak kesempatan saya acapkali miris menyaksikan tingkah beberapa oknum jurnalis zaman now yang sok jago padahal isi kepalanya kosong melompong.
Mereka tanpa malu mempertontonkan kedunguan yang memuakkan lewat lagaknya yang merasa serba tahu. Mereka terjebak dalam “kesombongan intelektual” yang sejatinya justru menodai nilai luhur profesi kewartawanan.
Ini merupakan bukti betapa mereka menjadi wartawan bukan karena keterpanggilan nurani, melainkan lebih pada pertimbangan pragmatis. Sangat jauh berbeda dengan sosok Pak Dahlan dan beberapa teman segenerasinya yang selalu tertib menjaga muruah (kehormatan) profesi sebab sadar bahwa kewartawanan itu dilihat dari karya, bukan gaya.
Kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki tak sedikit pun membuatnya angkuh apalagi menyepelekan orang lain. Ibarat kata, mereka tetap rendah hati untuk, “Duduk seperti kucing tetapi melompat seperti harimau”.