Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin
Teringat masa ketika masih duduk di bangku SMP, masa yang paling indah, masa yang belum banyak mengenal berbagai problematika yang terjadi di tengah-tengah keceriaan dan kebahagiaan yang luar biasa. Suatu ketika, saat lagi asyik bermain, salah seorang teman bertanya dengan bahasa anak SMP… 😁😁😁 “Din, kamu aliran apa? mazhab apa? Ikut ormas apa?”
Pertanyaan ini sontak membuat saya binggung, apalagi yang bertanya adalah salah seorang teman yang sudah duduk di bangku SMA. Sebagai anak yang belum faham, saya balik bertanya, Maksudnya?”
Dengan penuh semangat, teman yang usianya jauh di atas saya menjelaskan dengan penuh semangat, “Ia, kalau kamu tidak ikut mazhab A, B, C, aliran A, B, C, D, ormas A B, C, D dan sebagainya, maka di hari kiamat nanti kamu tidak punya imam.”
Betapa terkejutnya saya mendengar pernyataan seperti ini. Apalagi saat sebelum tidur, orang tua saya sering menceritakan tentang surga dan neraka, subhaanallah. Pertanyaan yang dilontarkan tentu saja tidak bisa saya jawab.
Ketika pulang ke rumah, saya menghampiri ayah saya yang sedang menikmati secangkir teh panas. Kebiasaan almarhum bapak saya (Allahummagfir lahu), sepulang salat asar dari masjid adalah menikmati teh panas dan pisang goreng.
Saat itu, saya berani mendekatkan diri pada beliau dan bertanya, “Pa, bapak mazhab apa? Aliran apa?”
Spontan bapak saya kaget dan bertanya darimana dapat pertanyaan seperti itu? Maklum, sejak kecil kami anak-anak almarhum diarahkan untuk mengaji kepada beberapa ustadz (di antara mereka, almarhum Abdul Latif dan H Kaimuddin, Allahummagrif lahum), para ustadz ini tidak pernah menyinggung dan menyebut sesuatu yang baru saja saya dapat. O iya, kedua orang ustadz yang mengajari kami ayat-ayat Allah, sangat tidak terima ketika kami memanggil mereka dengan gelar kyai.