Oleh : Mahrus Andis, Budayawan, Kritikus Sastra, dan Mubalig
Ada tiga idiom kultural untuk membedakan tingkat keilmuan di lingkungan masyarakat Bugis.
Pertama; Guru. Sapaan ini melekat pada seseorang yang sering mengajarkan ilmunya, dianggap alim di bidang agama, dan dituakan di tengah masyarakat sekampungnya. Dari sapaan ini, muncullah sebutan; guru ngaji, guru baca, atau guru mencak (baca: pencak silat tradisional).
Kedua; “Tangguru”. Istilah ini adalah terjemahan dari kata “Mister” di zaman Belanda, yang berarti Tuan Guru. Sebutan ini hanya melekat pada guru laki-laki, sebab di era penjajahan jarang terdapat guru perempuan. Tingkat keilmuan seorang “Tangguru”, umumnya rata-rata saja, yaitu klasifikasi mengajar mata pelajaran di sekolah rendah hingga menengah. Di wilayah Perguruan Tinggi, “Tangguru” disebut dengan panggilan dosen.
Ketiga; “Anre Gurutta” (Masyarakat Bugis menekankan penggilan “GurutTTa” sebagai ekspresi rasa memiliki guru yang mereka muliakan). Orang yang telah berhasil menyandang predikat “Anre Gurutta”, terutama di wilayah masyarakat yang masih akrab dengan tradisi budaya religiusnya, maka pasti dia memiliki derajat keilmuan yang sangat tinggi.
Karena kedalaman ilmunya di bidang filsafat ketuhanan, hukum-hukum agama, dan tarikat makrifatullah sehingga “Anre Gurutta” didudukkan pada posisi sebagai sumur yang tiada pernah kering untuk menimba ilmu.
“Anre Gurutta”, umumnya disebut kyai, yaitu ulama besar atau cendekiawan pemikir agama yang mampu menjadi telaga bening bagi musafir (baca: penuntut ilmu) yang dahaga.
Bahkan, dari kata “Anre”, yang artinya makan, dan “Gurutta” yang berarti guru milik bersama, mengandung makna; “Guru tempat kita makan”. Ibarat padang penggembalaan yang luas, maka “Anre Gurutta” adalah tempat semua ternak datang untuk merumput.