Oleh : Mahrus Andis, Budayawan tinggal di Bulukumba
Puisi Aspar Paturusi yang menjadi objek pembahasan kita kali ini adalah sebagai berikut:
BADIK
jangan sentuh lagi badik kakek/kini tenang tergeletak di peti/genggamlah sebilah badik perkasa/penakluk segala masalah
badik itu tidak terselip di pinggang/tapi harus kukuh tegak di hati/badik itu bernama badik iman/pamornya berukir takwa
inilah badik yang harus kau miliki/tak ada darah di tajam ujungnya/hanya berhias cinta kasih/senyum buat saudara seiman
badik iman berpamor takwa/cabut dari hati segera/bila ada duka musibah
Jakarta, 13 Juli 2010
Membaca puisi ini, kita seakan berhadapan dengan seorang “kakek”. Atau katakanlah si kakek itu bernama “peradaban”. Ibarat to manurung (manusia dewa yang turun dari langit), Aspar memperkenalkan sebuah peradaban baru di balik makna usang sebilah badik: tradisi pembunuhan warisan nenek moyang turun-temurun.
Bagi penyair, masa kejayaan badik sebagai senjata eksekusi bagi tegaknya nilai siriq sudah berlalu. Ia telah menjadi situs yang menampung nilai sejarah.
Badik yang “fisik” dan menjadi kebanggaan di masa silam harus disimpan dalam peti antik. Badik yang tidak lagi terselip di pinggang dan tak ada darah di tajam ujungnya. Badik yang berhias cinta kasih kepada sesama adalah badik yang “ruh”. Badik iman yang cahayanya menjadi senyum bagi segenap solusi kedamaian umat manusia.
Sesungguhnya, tawaran badik fisik menjadi badik ruh sudah dilakukan sebelumnya oleh Aspar. Novelnya yang berjudul “Pulau” (diangkat ke layar lebar dengan judul Lelaki dari Tanjung Bira, 1990-an) sudah meletakkan badik bukan sebagai pembunuh, melainkan sekadar simbol keberanian melawan pelanggaran adat.