Ingus laut ini disebut tidak berbahaya namun dapat mengundang virus dan bakteria, termasuk E. coli. Lendir (ingus) laut yang biasa disebut dalam istilah asingnya “sea snot” adalah lumpur yang berbentuk agar-agar berwarna krem, umumnya tidak berbahaya, tetapi dapat menarik virus dan bakteri, termasuk E. coli, sehingga dapat menjadi selimut yang mencekik kehidupan laut yang mengancam flora dan fauna laut, serta manusia jika terpapar air yang terkontaminasi.
Menurut Professor Huseyin Erdugan dari Departemen Biologi, Universitas Onsekiz Mart Turki, lendir laut pada dasarnya adalah massa mikroorganisme yang diperkaya oleh komponen limbah yang tidak diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke laut. Lendir sebenarnya adalah eksopolisakarida (biomakromolekul yang terdiri dari residu karbohidrat yang dipancarkan oleh mikroorganisme) dan meskipun polusi memperburuk masalah lendir laut, hal itu pada akhirnya disebabkan oleh mikroorganisme itu sendiri. Lendir memiliki banyak komponen, termasuk berbagai mikroorganisme seperti virus dan prokariota, serta senyawa eksopolimer dengan sifat koloid.
Lendir laut sebenarnya terbentuk secara alami ketika alga atau ganggang di laut dipenuhi nutrisi akibat iklim hangat dan pencemaran air. Pengamat lingkungan menyatakan bahwa sampah rumah tangga dan industri menyebabkan fitoplankton membludak. Dengan kata lain, perubahan iklim dan pencemaran ini telah berkontribusi pada proliferasi bahan organik, yang mengandung berbagai macam mikroorganisme dan dapat berkembang ketika limbah yang kaya nutrisi mengalir ke air laut.
Peristiwa Sea Snot atau lendir laut ini pertama kali terjadi di Turki pada tahun 2007 dan peristiwa ini kembali terulang baru-baru ini di sepanjang Laut Marmara di dekat Istanbul yang menyebabkan kapal-kapal yang melintasi Laut Marmara terpaksa mengarungi limpahan lumpur ini. Akibat lain dari peristiwa ini brdampak pada sejumlah nelayan yang tak bisa berlayar karena lendir ini merusak motor kapal dan jaring para nelayan. Hal ini juga berdampak pada habitat ikan dikarenakan kurangnya oksigen sehingga dapat menyebabkan ikan mati.
Profesor Bayram Ozturk dari Pusat Peneitian Kelautan Turki mengatakan masalah seperti ini akan terus terjadi kecuali ada investasi baru untuk mengolah dan memurnikan air limbah yang dipompa keluar dari Istanbul.
Fenomena Dampak Biodiversitas
Hasil analisis mikroskopik, ternyata buih gel mengandung jebakan udara sehingga sangat mudah mengapung. Sejumlah besar udara terperangkap menyebabkan kolom air kekurangan oksigen dan akhirnya semua biota termasuk ikan pelagis banyak yang mati. Pantai mengalami pembusukan akibat ikan mati dan meninggalkan bakteri. Sejumlah besar ikan mati yang berdampak pada kehilangan biodiversitas pada ekosistem laut di Teluk Bima.
Syafyuddin mengatakan, berbagai institusi terkait dan lembaga harus terlibat mengelola bencana pencemaran ini agar cepat berlalu. Melihat fenomena yang ada, maka diungkapkan beberapa kegiatan yang sudah dilakukan. Pada tanggal 27 April 2022 Dinas Lingkungan Hidup Daerah Kota Bima melakukan sampling air tercemar yang didampingi perwakilan dari Depo Pertamina Bima. Untuk membuktikan adanya kandungan minyak, pihak pemda (Labkesda Kota Bima) melakukan uji bakar, hasilnya nihil.
Dan sampel air dibawa ke Laboratorium Kesehatan Daerah Kota Bima atas permintaan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bima. Hasilnya adalah kandungan logam berat (Arsen) negatif, Ikan banyak mati karena kekurangan oksigen yang terperangkap dalam sel pencemar tersebut. Pertamina didampibgi oleh Polres Bima Kota, Badan Penanggulangan Bendana Daerah (BPBD) Kota Bima langsung melakukan pengujian secara fisik di lokasi dengan uji bakar. Hasilnya nihil, artinya bahan tersebut tidak mengandung minyak/hydrocarbon.
Pada tanggal 28 April 2022, dilaksanakan Rakor tingkat kementerian dan badan terkait bersama organisasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta stakeholder termasuk Pertamina. Pada tanggal 28 April 2022 dilakukan pengambilan sampel lagi kemudian akan dianalisis di Laboratorium Kesehatan Kelautan Sekotong Lombok Barat dan hasilnya belum lengkap. Sebagian dikirim ke Laboratorium Yayasan Generasi Biologi Indonesia Surabaya.
Pada tangga 28 April 2022, dilakukan penelitian terbatas bio-fisik sampel Gellatin Laut oleh Unhas yang dipimpin oleh Dr. Syafyudin Yusuf. Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah pengamatan mikroskopik, pengukuran suhu, pemotretan, identifikasi ikan terdampak.
Tanggal 29 April diawali dengan Diskusi Publik yang dilakukan oleh Ikatan Mahasiswa (IWA) Mbojo Unhas kemudian dilakukan pertemuan terbatas antara Kenko Marves, Pertamina, Kepala SKPD Pariwisata, Dinas Kelautan dan Perikanan, Unhas, Sekolah Tinggi Teknik Bima.
Tanggal 30 April 2022, Pertamina bekerja sama dengan Pemkot Bima menyedot dan membersihkan material pencemar di pesisir pantai Teluk Bima.
Syafyuddin M.Saleh menyebutkan, hasil sementara, hasil analisis yang dilakukan LabKes Kota Bima berdasarkan hasil pengukuran Oksigen Terlarut (DO), BBTKL Surabaya dan Labkes Kota Bima bahwa Fenomena Sea Snot belum memiliki simpulan akhir, sebelum uji lengkap patogen (virus dan bakteri), penurunan signifikan DO di kolom air dan peningkatan konsentrasi NO3 (Nitrat sampel 28 April 2022.
Tim Unhas Syafyudin Yusuf, Hadi Santoso, Abdul Haris dan Tim Kota Bima melakukan analisis mikroskopik, oksigen terperangkap dalam buih gel, Ikan mati baik ikan pelagis kecil maupun ikan demersal diselimuti selaput bakteri. Pengukuran suhu selama 2×24 jam sedang berlangsung.
Untuk menyelesaikan solusi dari berbagai masalah yang akan muncul, kata Syafyuddin menyarankan perlunya dibentuk pembentukam kelompok kerja (Pokja) tingkat Kabupaten Bima dan Kota Bima dan Provinsi NTB.
Merekomendasikan PT. Pertamina Bima membuat kerja sama nota kesepahaman dengan Perguruan Tinggi untuk memangtau secara berkala berbagai aspek lingkungan laut di Teluk Bima. Menyosialisasikan kepada masyarakat hasil temuan dari beberapa penelitian mengenai fenomena yang terjadi. Mengidentifikasi biodiversiti yang terganggu akibat pencemaran ini. Mengidentifikasi dampak wisata, terutama sampai sosial, ekonomi pengembangan Teluk Bima.
“Semua pihak yang melakukan observasi agar segera merilis bahan yang terkandung dalam buih/gellatin di Teluk Bima. Swasta yang merasa “tertuduh” diharapkan memberikan akses pihak untuk observasi lebih lanjut di sekitar lokasi pencemaran,” sebut Syafyuddin.
Dia meminta masyarakat tidak berspekulasi sebelum ada hasil uji laboratorium. Pemerintah dan didukung swasta dan lembagan peneliti atau universitas untuk membuat suatu data base kelautan se Teluk Bima sebagai referensi masa mendatang (bioekologi, fisik, seabase, oseanografi). Secara fisik bahan pencemar di sekitar wisata, agar disedot dan dibuang ke darat bercekung.
Mengumpulkan limbah ikan agar tidak membusuk di sekitar pantai wisata. Tetap memantau setiap hari hingga air laut bersih kondisi di lokasi pencemaran. Membuat konsep pengelolaan kawasan Teluk Bima dan mengatur pemanfaatan yang sustainable (berkelanjutan).
Masyarakat juga disarankan agar tidak mandi dan berenang di lokasi pencemaran sebelum ada informasi resmi bahwa lokasi tersebut sudah bebas bakteri air laut. Merestorasi tumbuhan laut penyerap bahan pencemar. (*)