Sungguh tidak pernah terbersit dalam hati, tidak juga menjadi angan- angan untuk tinggal di Manado lebih dari 1,5 bulan. Apalagi di bulan Ramadan yang mubarak ini. Terhitung tanggal 19 Maret tiba di Kota Doa ini dan balik 5 Mei.
“Kalau begitu kenapa harus ke Manado ?” bertanya salah seorang jamaah Sabilul Muhtadin di Paal Dua Manado.
“Anak perempuan saya satu- satunya dari 5 bersaudara, sedang hamil tua. Dokter perkirakan melahirkan 20-an ke atas,” jawabku.
Cucuku ternyata baru lahir 1 Ramadan. Alhamdulillah. Maka tinggallah kami menemani, sampai opa dan omanya (besan) saya, datang menggantikan.
Tapi saya tidak menyesal, Manado terlalu indah untuk disesali. Penduduknya yang ramah dan aneka kulinernya yang mengundang selera, serta toleransi tinggi masyarakatnya, hanya bagian kecil dari banyak daya tarik yang ada di kota itu.
Oleh karena bertepatan dengan bulan Ramadan, kesan dan pesan ini lebih banyak soal ibadah itu. Begitulah, dari sisi spritual sungguh amat bermakna tinggal di Manado selama 48 hari. Untuk pertama kali dalam hidup, tarawih di 13 masjid yang tersebar di berbagai kecamatan di Manado.
Ada sepeda motor di rumah anak, kendaraan itulah yang saya pakai berkeliling menemukan masjid. Untuk pertama kali pula, tampil memberi kultum sampai 7 kali. Kalau saja saya tidak berkelana ke berbagai madjid mungkin saya isi kultum di Masjid Sabilul Muhtadin bisa sampai 20 kali.
Di Masjid KH Arsyad Thawil saya mendengar shalat “wada” yang bermakna shalat perpisahan dengan Ramadhan. “Sebagai bulan mulia, tidak boleh dilepas begitu saja. Harus ada perpisahan resmi,” tutur Imran sang imam.