Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Salah satu tradisi asli nusantara yang biasanya diselenggarakan setelah Hari Raya Idul fitri adalah Halalbihalal. Ini merupakan merupakan istilah keagamaan yang hanya dikenal di Indonesia.
Istilah tersebut seringkali menimbulkan tanda tanya tentang maknanya, bahkan kebenarannya dari segi bahasa, walaupun semua pihak menyadari bahwa tujuannya adalah menciptakan keharmonisan antar sesama.
Dikutip dari detik.com, setidaknya ada tiga kisah sejarah munculnya istilah tersebut.
Pertama, Kiai Wahab Hasbullah, yang juga salah seorang pendiri Nahdhatul Ulama diyakini sebagai pencetus istilah Halalbihalal. Pada tahun 1948, Presiden Soekarno mengajak Kiai Abdul Wahab berdiskusi mencari solusi dari masalah perpecahan yang terjadi di kalangan elit politik saat itu.
Karena haram, maka harus dibuat halal dengan cara saling bertemu, duduk satu meja, dan saling memaafkan. Maka acara silaturahim tersebut disepakati dengan istilah “halalbihalal”, walaupun istilah telah dikenal di Indonesia sejak tahun 1938 dan Kiai Wahab Hasbullah lahir tahun 1888.
Kedua, sekitar tahun 1935, ada seorang penjual martabak berkebangsaan India di gerbang Taman Sriwedari Solo, yang dibantu oleh seorang pribumi mendorong gerobak. Dalam menjajakan dagangannya, sang pribumi berteriak “Halalbinhalal”.
Ketiga, istilah ini digunakan oleh jamaah haji pada masa penjajahan Belanda untuk bertransaksi di Mekkah. Karena keterbatasan dalam berbahasa Arab, ketika bertransaksi jamaah haji Nusantara bertanya “Halal?”, lalu dijawab oleh pedagang setempat “halal”. Istilah halal yang dikemukakan oleh penjual martabak dan jamaah haji, tidak memiliki korelasi dengan idul fitri.