Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Setelah Sulaiman bin Ja’far menunaikan pekerjaan bersama salah seorang sahabatnya, Imam al- Ridha, Dia bergegas ingin pulang ke rumah karena hari sudah malam. Di tengah perjalanan, Imam al-Ridha mengajak Sulaiman mampir sejenak ke rumahnya, sekalian bermalam. Tawaran ini diterima oleh Sulaiman.
Setibanya di rumah al-Imam, Sulaiman mendapati para pembantunya sedang membangun suatu bangunan dari tanah dan kotoran binatang. Di antara mereka ada seorang lelaki berkulit hitam.
Al-Imam bertanya kepada pembantunya, “Siapa lelaki yang bersama kalian?”
Pembantunya menjawab, “Dia adalah seorang buruh yang kami pekerjakan di tempat ini.”
Setelah mendapat penjelasan dari pembantunya, al-Imam meminta, agar lelaki yang ikut membantu mereka ditentukan upah bekerjanya dan dibayar tepat waktu sesuai kesepakatan.
Al-Imam menegaskan, bahwasanya ketika seseorang dipekerjakan dan upahnya tidak ditentukan, sekalipun sang buruh diberi upah yang banyak, buruh tersebut berasumsi bahwa kita telah mengurangi upahnya. Namun jika upahnya telah ditentukan dan dibayar tepat waktu, maka sang buruh akan sangat merasa gembira dengan apa yang diterimanya.
Islam memandang kaum buruh berangkat dari asumsi bahwasanya majikan dan buruh memiliki tujuan yang sama, yakni menikmati kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Buruh bagi seorang majikan adalah parner untuk meraih kemaslahatan hidup. Sedangkan seorang buruh setidaknya mendambakan empat hal; kebahagiaan spiritual, kebahagiaan jiwa, upah yang diterima, dan kenyamanan dalam menggeluti pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Setidaknya, ada dua perbedaan konsep upah antara konvensioval dan Islam. Pertama, Islam melihat upah yang diberikan kepada buruh berhubungan erat dengan konsep moral, sementara Barat tidak.