Laporan M. Dahlan Abubakar
KEHADIRAN saung makan Ina Sei ini berawal dari perjuangan yang mulai dari nol. Bermula dari pernikahan Saodah-Gumrih yang tak direstui orang tua Saodah, pasangan ini harus hidup dalam tali silaturahim yang kurang mulus dan harus hidup dengan susah.
Midun mengisahkan, empat kali Saodah menyambanginya di Desa Tadewa karena hatinya sudah terpaut dengan pria yang kini menjadi suaminya. Tidak ada pilihan lain bagi Saodah. Dia terpaksa menempuh “jalan darurat” guna menautkan dua hati yang sulit dipisahkan itu. Istilah dalam bahasa Bima disebut “lao iha” (turun rusa, semacam ‘silariang’ di Makassar,’ menari atau merari, dan memari’ yang dikenal di Lombok untuk istilah menculik gadis). Dia rela meninggalkan kampung Ntundu untuk menemui kekasih hatinya.
Midun mengakui, istrinya memang bekerja keras menjalankan bisnis warung ini. Antara tahun 2008-2009 kondisi bisnisnya boleh dikatakan ambruk. Sebelumnya, pada tahun 1990, Midun sakit. Penyakitnya pun aneh. Dia diikat alias dipasung. Orang Bima menyebutnya “dijompa” dan “dipeto” (kedua kakinya dimasukkan pada dua batang kayu yang diberi gerendel dan dikunci). Ibunya di Tadewa memberitahu agar Ina Sei berpisah saja dengan Midun karena dengan penyakitnya tidak memiliki harapan untuk melanjutkan kehidupan ini, Namun istrinya tetap bergeming sambil berkata.
“Suamiku sakit bukan di tangan orang tuanya, melainkan saat bersama dengan saya sebagai istrinya. Saya akan berusaha mengobatinya,” kata Ina Sei dalam bahasa Bima yang diungkapkan kembali oleh Midun dengan suara yang bergetar dan tentu saja diterjemahkan penulis.