Inti isi buku ini adalah bagaimana seorang wartawan melaporkan dari lapangan dengan sangat deskriptif mengenai persiapan, jalannya, dan pasca-operasi penyergapan Qahar Mudzakkar di daerah Sulawesi Tenggara pada awal tahun 1965. Rincian dan detail tulisan yang dibuat L.E. Manuhua – yang terkenal sangat dekat dengan Panglima Operasi ‘Tekad’/Pangdam XIV Hasanuddin Kolonel (kemudian Brigjen hingga Jenderal) M.Jusuf – benar-benar sangat membantu kita mengetahui secara fisik dan nonfisik sosok Qahar Mudzakkar. Dengan deskripsi ini diharapkan, sebagian kecil teka-teki tentang Qahar Mudzakkar selama ini sedikit demi sedikit terkuak.
Sebagaimana lazimnya, suatu bukti kelam dan hitam masa lalu, setelah berselang 40 tahun berikutnya sudah sah dibuka untuk publik. Begitulah dengan salah seorang Mark Felt, orang kedua di Biro Penyelidik Federal (Federal Bureau Investigation – FBI) Amerika Serikat yang membocorkan rahasia mengenai skandal Watergate yang menjatuhkan Presiden Richard Nixon pada awal tahun 1970-an, membuka kedoknya setelah kejatuhan presiden terheboh dalam sejarah politik Amerika itu.
Dari sisi kematian Qahar Mudzakkar hanya satu yang menjadi misteri, yakni lokasi jasadnya dikebumikan. Hingga kini masih menjadi rahasia yang tertutup rapat. Saksi kunci yang dapat menjelaskan itu, sudah tiada. Begitu pun beberapa wartawan yang menjadi saksi mayat Qahar Mudzakkar tiba di Makassar dengan helikopter. Ada seorang wartawan senior dan kini sudah almarhum yang sempat diwawancarai tetapi menolak memberitahu lokasi jenazah Qahar Mudzakkar dikebumikan. Dia mengetahui ‘’kubur’’ Qahar, namun enggan membuka rahasia itu dengan alasan sudah disumpah. Jadi, informasi tentang lokasi makam Qahar terkubur seiring dengan kepergian para saksi kunci mengenai informasi yang tidak akan pernah terjawab itu.
Menurut informasi yang diperoleh, ketika selesai dimandikan, konon ada dua peti mati yang disiapkan. Satu peti mati diangkut oleh sebuah pesawat Helikopter dan sebuah lagi diangkut oleh mobil. Helikopter mengarah ke laut, tetapi entah ke laut bagian mana di Selat Makassar. Nah, peti yang dibawa mobil itulah yang diperkirakan dan kemungkinan meluncur lurus ke Taman Makam Pahlawan Panaikang, Makassar.
Siapa pun dapat membantah dan menyangkal atas informasi burung ini, Kita tidak dapat menyalahkan adanya informasi selentingan yang beredar dengan sumber yang anonim. Namun itulah risiko dari sebuah informasi bila tetap ditutup rapat. Bagaikan air yang terus mengalir dan tetap ditutup jalan keluarnya, lama-lama akan mencari jalan keluar sendiri. Atau pun paling tidak, tempat itu bocor dan mengalir ke mana-mana.
Naskah asli buku ini ditulis dalam ejaan bahasa Indonesia lama (Ejaan Suwandi), sebelum ejaan yang disempurnakan (EYD) dan kini berganti dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Oleh sebab itu, tanpa mengurangi sedikit pun substansi informasi, untuk memudahkan pembaca saya menyesuaikan ejaan di dalam buku ini sesuai dengan PUEBI tersebut.
Untuk melengkapi isi buku ini, Dahlan melakukan kajian pustaka dengan membaca sejumlah buku, di samping menambahkannya hasil wawancara dengan dengan salah seorang yang mengaku kurir Qahar, yakni Abdul Qadir Djaelani di Kabupaten Tana Toraja. Apakah Kadir Djaelani ini orang yang mungkin sama dengan Mayor Kadir Junus, pengawal Qahar Mudzakkar yang pernah ditangkap pihak keamanan ? Yang jelas, komentar Kadir Djaelani juga ikut menambahkan isi buku ini.
Yang tidak kalah ikut memerkaya, buku ini adalah hasil wawancara atau perbincangan Dahlan dengan penyair dan sastrawan nasional Taufiq Ismail. Sosok Angkatan 66 ini mengisahkan pertemuan ayahnya – Abd. Gaffar Ismail — dengan Qahar Mudzakkar – muridnya ketika di Solo — di hutan belantara Sulawesi Selatan sebelum dia ditembak mati oleh aparat keamanan Republik Indonesia.
Beberapa hasil transkrip pidato-pidato dan satu pernyataan langsung Qahar yang saya peroleh dari salah seorang adik di Penerbitan Kampus Identitas Universitas Hasanuddin ikut memerkaya isi buku ini. (MDA)