Indikator ketiga, adanya mekanisme pelaporan maupun penyebaran informasi penyimpangan tindakan aparat publik di dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. merupakan kemudahan memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan publik. Informasi tersebut bebas didapat dan siap tersedia (freely and readily available).
Indikator keempat, adanya laporan pertanggungjawaban yang tepat waktu. Indikator kelima, tersedianya laporan mengenai pendapatan, pengelolaan keuangan, dan aset yang mudah diakses. Dan Indikator keenam, adanya pengumuman kebijakan mengenai pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset.
Nur Rozuqi melanjutkan, dalam upaya menciptakan masyarakat informasi (information society) yang memiliki hak dalam mengawasi jalannya pemerintahan secara umum, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010.
Sedangkan khusus masalah keterbukaan informasi publik di desa diatur dengan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2018. Melalui Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Komisi Informasi tersebut, berbagai masalah transparansi informasi, khususnya yang terkait ataupun dikuasai oleh badan-badan publik di desa harus dibuka untuk masyarakat sebagai pemohon atau pengguna informasi publik.
Manakala keberadaan desa tidak sebagaimana uraian indikator di atas, maka Pemerintah Desa tersebut dapat dikategorikan tidak transparan atau tidak terbuka. Ditambah lagi manakala adanya petunjuk yang mengarah bahwa pembina desa, auditor desa, dan aparat penegak hukum terkesan turut serta menutup-tutupi dan melindungi Pemerintah Desa, maka dapat dipastikan keadaan rakyat diabaikan, bahkan ada yang dalam tekanan, aset desa dan uang rakyat menjadi obyek penjarahan.
“Bila yang terjadi begitu, maka rakyat akan terpasung, tersandera, dan menjadi tidak tahu kemana dan kepada siapa harus bertanya, melapor, dan berlindung. Tragis,” tutup Ketua DPP LKDN. (Rizky)