Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Seorang raja menganggap apa yang telah dipelajarinya, dan yang dipercayainya adalah benar. Dalam beberapa hal, ia hanyalah seorang manusia biasa, yang memiliki kemampuan dan pengetahuan terbatas.
Suatu hari, sang Raja berkata kepada ketiga orang puterinya, “”Segala milikku adalah milik kalian, atau akan menjadi milik kalian. Melaluiku kalian mendapatkan kehidupan kalian. Kehendakkulah yang akan menentukan masa depan kalian, yang berarti juga nasib kalian.”
Puteri pertama dan kedua sang Raja mengamini dan mendukung semua yang disampaikan oleh ayah mereka. Sebaliknya, puteri ketiga menolak pendapat sang ayah dan berkata, “Wahai ayahanda, meskipun kedudukanku menuntutku harus mematuhi hukum, tetapi aku tidak bisa percaya bahwa nasibku harus selalu ditentukan oleh pendapat Ayahanda.”
Mendengar ucapan anak ketiga, sang Raja naik pitam dan memerintahkan para prajurit memenjarakan sang puteri di sebuah ruang kecil, di mana sang puteri menderita selama bertahun-tahun. Sementara sang raja dan kedua puterinya yang patuh hidup bebas berlimpah kekayaan di atas penderitaannya.
Raja berkata kepada dirinya sendiri, “Anakku berada di dalam penjara bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan oleh kehendakku. Ini membuktikan, cukuplah bagi pikiran yang logis bahwa kehendakku yang menentukan nasibnya, bukan kehendaknya.”
Masyarakat yang mendengar keadaan sang puteri, berkata satu sama lain, “Ia pasti telah melakukan atau membuat kesalahan besar kepada raja, untuk memperlakukannya sedemikian rupa darah dagingnya sendiri.”
Karena sesungguhnya, masyarakat belum sampai pada titik di mana mereka merasa perlu untuk mendebat asumsi kebenaran sang Raja dalam segala hal.
Sang Raja seringkali mengunjungi puterinya itu. Meskipun sang puteri tampak pucat dan lemah karena terpenjara, sang puteri menolak untuk mengubah sikapnya.