Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Para pendiri negeri ini, telah meletakkan asas-asas kenegaraan yang salah satunya memuat prinsip musyawarah sebagai salah satu asas kemasyarakatan yang sangat penting, sehingga salah satu surat dalam Alquran, yakni Surat ke 42, disebut surat Syura (Musyawarah).
Sesungguhnya, prinsip musyawarah tidaklah berdiri sendiri. Dia terkait dengan berbagai prinsip yang lain tidak bisa dipisahkan. Antara lain, musyawarah itu terkait erat dengan konsep Alquran yang dikukuhkan oleh beberapa hadis bahwa manusia adalah makhluk fitrah yang suci dan bersih.
Karena kesuciannya asal, maka manusia adalah mahluk yang hanif, yakni, selalu merindukan bulan dan secara alami memihak kepada yang benar dan baik. Itulah sebabnya, manusia akan tenteram pada kebenaran dan kebaikan, dan akan menjadi gelisah dengan kepalsuan dan kejahatan.
Sebagai makhluk yang fitri dan hanif, maka manusia senantiasa memiliki potensi untuk benar dan baik. Justru kebenaran dan kebaikan itulah potensi original manusia yang dibawa sejak lahir.
Inilah yang menjadi dasar hak seseorang untuk didengar pendapatnya. Kemudian hak itu terefleksikan dalam adanya kewajiban orang lain untuk mendengar.
Didengar dan mendengar adalah dasar mekanisme musyawarah dan perkataan Arab musyawarah memang mengandung makna mutualitty, yakni, hubungan timbal balik, dalam hal ini hubungan saling memberi isyarat tentang apa yang benar dan baik.
Sepintas lalu, sepertinya ada suatu kontradiksi; jika masing-masing individu ini bersifat fitri dan hanif, lalu mengapa seseorang tidak cukup dengan dirinya sendiri? Mengapa masih perlu dan wajib, mendengar orang lain?