Indar Bahadi selama 20 tahun membawa kapal perintis memasuki pelosok Papua yang ketika itu belum terjamah sama sekali. Dari nama-nama daerah yang disebutnya, nyaris tidak pernah didengar di publik maupun di media (sosial).
“Jadi, hanya dimasuki (dilayari) oleh kapal perintis, ya ?,” imbuh penulis. “Ya, perintis. Dulunya kan baru ada Tamposmas (II),” ujarnya, kemudian penulis menambahkan bahwa pernah mewawancarai Nakhoda KM Tampomas II Capt. Rivai (alm.) pada saat pelayaran Makasaar-Jakarta, November 1980, dua bulan sebelum kapal tersebut terbakar dan tenggelam di Kepulauan Masalembo, menjelang akhir Januari 1981.
Saat kapal penumpang yang semula bernama “Great Emerald” itu karam, penulis sedang meliput Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Mahasiswa di Manado.
Menurut Indar Bahadi, ketika bertugas di Papua, menghadapi masyarakat yang cara berpikirnya belum maju. Terkadang dulu itu, mereka menyelesaikan sesuatu itu dengan kekerasan. Itu mungkin terbatasnya mereka bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Kurang berinteraksi dengan orang luar.
Dulu, sebelum pendatang menyambangi daerah itu, mereka masih ketat dengan budayanya yang mungkin menurut orang lain masih primitif. Makanan juga belum tersedia dan belum mampu mengolah alam dan potensinya. Kepada para pendatang, mereka tidak belajar. Akhirnya, menimbulkan rasa iri, yang sebenarnya bersumber dari kemalasan mereka sendiri. “Padahal, daerah mereka memiliki potensi yang besar,” sambung penulis.
“Ya, itu kan media yang besar-besarkan, dan itu justru menjerumuskan mental mereka. Bagaimana negara mengatasinya, mestinya harus mengambil pengalaman orang-orang yang pernah bertugas di sana. Inspirasinya apa. Pendekatan budaya mereka seperti ini,” sentil Indar Bahadi yang masuk hingga ke wilayah di dekat Papua Nugini (PNG) dan Agats, di bagian selatan di dekat Merauke.