Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Piagam Jakarta, sesungguhnya dimaksudkan sebagai teks deklarasi kemerdekaan bangsa tepat pada waktunya masih harus dirumuskan, dan hal tersebut dimasukkan ke dalam mukaddimah dari Konstitusi Indonesia yang diusulkan. Namun, tatkala Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini, 17 Agustus 1945, mereka tidak menggunakan Piagam Jakarta.
Sebaliknya, mereka merumuskan sebuah dokumen baru, kemudian dikenal sebagai teks proklamasi, sebuah dokumen yang sangat ringkas yang di dalamnya tidak disebutkan secara rinci apa yang akan dijadikan nature dari negara Indonesia merdeka ini, dan di dalamnya tidak pula disebutkan sesuatu menyangkut agama Islam atau agama lainnya.
Keesokan harinya, 18 Agustus 1945, suatu alasan yang jelas menentang berdirinya negara Islam muncul dengan sendirinya. Tatkala berlangsung rapat PPKI untuk merumuskan konstitusi, sehari setelah kemerdekaan diumumkan, ada informasi yang menyatakan bahwa kaum Kristen yang berasal dari Sulawesi Utara tanah kelahiran A A Maramis, secara serius menolak satu ungkapan dalam piagam tersebut yang menyatakan, “Ketuhanan dengan ketetapan tertentu kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi para pemeluknya”.
Muhammad Hatta, yang memimpin rapat tersebut, setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hasan dan Kasman Singodimedjo, dua pemimpin muslim terkemuka, menghapus ungkapan tujuh kata dari Piagam Jakarta yang menjadi keberatan oleh masyarakat Sulawesi Utara.
Sebagai gantinya, atas usul Ki Bagus Hadikusumo (yang kemudian menjadi ketua Muhammadiyah), ditambahkan sebuah ungkapan baru dalam sila Ketuhanan tersebut, sehingga berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.