Oleh M. Dahlan Abubakar
INDAR sebelum bergabung dengan Pelni memanfaatkan waktunya berguru ilmu agama ke beberapa negara. Perjalanan ke luar negerinya, antara lain ke India, Bangladesh, dan Thailand, sebelum memutuskan bekerja di kapal. Dia tidak memiliki latar belakang pendidikan normal sekolah agama, seperti Madrasah Aliah, tetapi kakeknya dari pihak ayah, dulu dari Magelang. Pengasuh pondok pesantren dari pihak ibunya. Dari pihak bapak, seorang kiai. Sebenarnya kakek-kakeknya kiai semua. Dari pihak bapak kiai, dari pihak ibu pun kiai.
“Cuma saya, pendidikan khusus pesantren tidak ada. Hanya mengaji. Saya autodidak dengan kiai-kiai itu. Dulu disuruh dulu baca Al Fatihah, saya berhenti di ‘bismillah” saja. Suruh ngulangin ‘bismillah’. Salah… Jadi kiai-kiai tidak suruh baca Alquran, tetapi baca ‘bismalah’ dulu. Kiai top Indonesia itu suruh baca ‘Al Fatihah’. Masih kurang-kurang, begitu kata para kiai saat saya salah membaca ‘bismilah’ ujarnya.
“Mahraj-nya, ya,” potong penulis. “Ya, mahraj,” sahutnya.
Ketika Indar membaca ‘bismillah’ dan terdengar belum pas, disuruh ulangi lagi. Jadi, dia mengaji pada para kiai itu, katanya, hanya melafazkan ‘bismilah’ secara benar. Bacaan seperti ini dia peroleh dari seorang kiai berkebangsaan India yang memiliki ilmu ‘lughat’ (ilmu untuk mengetahui setiap kata Alquran) dan mendengar. Tebal tipisnya ucapan. Kita memang tidak bisa pas persis karena Quran itu ‘qalamual’ (mempelajari hukum dan ajaran yang terkandung di dalamnya) tidak akan bisa menyamai. Tidak ada orang di dunia ini yang mengajinya top, tidak bisa menyamai lafaznya yang pas.