*Catatan M. Dahlan Abubakar*
Husni Djamaluddin yang duduk di atas kursi roda dan didorong dan dipandu oleh seseorang, keluar dari pintu lift. Tubuhnya yang ringkih terbungkus stelan jas yang rapi, serasi, harmonis, dan bersih, tanpa slang infus. Dia mengirim senyum ke sekeliling ruangan. Rahmat Hasanuddin maklum, dia sakit, tetapi berusaha tersenyum, memberi spirit kepada semua orang yang melihatnya.
Rahmat Hasanuddin menyambutnya. Dia menggaet tangannya yang kurus dan nyaris tak bertenaga. Rahmat Hasanuddin menciumnya sebagai tanda penghormatan dan penghargaan terhadap kerabat yang lebih tua, dan terutama sebagai ‘Panglima” perjuangan yang akan menanti momentum kemenangan. Banyak orang yang datang untuk mencium tangannya, tetapi Rahmat Hasanuddin meminta mereka membatasi diri menyentuhnya.
Rahmat Hasanuddin pun mengantar dia ke kursi di deretan depan yang hanya tersisa dua yang kosong. Kursi rodanya pun dilipat dan diletakkan di samping kursi di lorong masuk bagian kanan. Rahmat Hasanuddin memapahnya dari kursi roda dan memintanya memilih salah satu dari dua kursi kosong. Kursi paling kiri dipilihnya karena di samping kiri ada Ibu Rosmini Achmad.
“Saya ingin diapit oleh Ibu Ros dan adik Rahmat,” sambil tersenyum tipis, nyeletuk pria yang ketika masih muda mengukir prestasi, menjadi pemenang hadiah ke-2 Sayembara Menulis Puisi Antarpelajar dan Mahasiswa se-Jakarta Raya tahun 1954 yang diselenggarakan Fakultas Sastra Universitas Indonesia dengan sajaknya yang berjaya itu bertajuk ”45-54”.
Sidang paripurna pada hari itu agak unik tetapi sakral. Sebagian besar anggota DPR RI mengenakan pakaian adat Mandar lengkap, termasuk Ibnu Munzir dan Anwar Adnan Saleh, dua anggota parlemen yang tak asing lagi bagi komunitas pejuang. Sutardjo Suryoguritno memimpin sidang yang dihadiri Menteri Dalam Negeri Harsudiono Hartas, mewakili pemerintah.