Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kepulauan Selayar, Hendra Syarbaini, SH, MH yang didampingi Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara, Andri Zulfikar, SH, MH ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya menegaskan kembali, melihat kondisi yang semakin kritis serta melihat bobot akhir pekerjaan yang hanya sampai di angka 7 persen sesuai penyampaian konsultan pengawas, maka dapat disimpulkan untuk melakukan pemutusan dan pendampingan hukum dengan Dinas Kesehatan Kepulauan Selayar.
Oleh karena itu, perlu diperjelas kepada publik bahwa yang melakukan pemutusan kontrak bukanlah Kejaksaan akan tetapi PPK. Kejaksaan hanya sebatas pendampingan hukum dengan memberikan saran dan masukan kepada pihak yang terlibat. Jauh sebelum dilakukan pemutusan kontrak oleh PPK, Kejari Selayar selaku pendamping hukum sudah memberikan kesempatan dan masukan, baik kepada PPK dan Kepala Dinas sebagai Pengguna Anggaran.
“Ketika SCM pertama atau uji coba dilakukan dan kemudian gagal atau tidak mengalami peningkatan maka sudah wajib untuk diputus kontrak. Dan kita sependapat dengan tim ahli dari LKPP Pusat,” imbuhnya.
Namun sebelumnya kami dari pendamping hukum tidak melakukan itu. Tetapi tetap menyerahkan kepada Dinas Kesehatan untuk memberikan kesempatan kepada penyedia dengan harapan pekerjaannya bisa dimaksimalkan.
“Dan setelah diuji coba yang kedua tetap gagal. Akibat kembali gagal itulah maka langkah atau ruang lain tidak bisa diberikan. Sebab sudah tertutup. Tidak ada pergerakan progres pekerjaan,” pungkas Andri Zulfikar.
Lain halnya dengan Direktur Utama PT Sahabat Karya Sejati. Saat ingin dikonfirmasi terkait bobot pekerjaannya baru mencapai 7 persen sementara jangka waktu pelaksanaan proyek hanya sampai akhir Desember 2022 dan juga pertanggungjawabannya soal uang muka yang konon sudah cair sekitar Rp 8 milyar, pengusaha konstruksi itu malah memilih bungkam dan kabur dari lantai II Kantor Kejaksaan Negeri Selayar di Jl WR Supratman Benteng. (M. Daeng Siudjung Nyulle)