Tidak jelas apa alasan tempat teduh tamu diambil alih. Kini tempat tersebut telah diubah menjadi tempat penimbangan sampah yang sempat kami lewati dan tanyakan sebelumnya. Ironisnya, Pak Rasyid dan Bu Teti tidak menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang di penimbangan sampah tersebut.
Ujian lainnya, pasangan suami istri itu banyak menerima hujatan dan makian dari orang sekitar maupun para pengunjung yang tidak tahu apa-apa. Mereka sering dituduh sebagai pengemis dan pemalak uang. Padahal niat mereka baik-baik. Orang-orang saja yang sembarang menimpulkan dan berujung prasangka buruk.
Selain ujian, Bu Teti pernah mengalami hal mistis saat menjaga Makam Karaeng Galesong di malam hari. Dia pernah digoda diajak bercanda oleh arwah kedua sahabat Karaeng Galesong. Namun mereka hanya menggoda, tidak berniat buruk sama sekali. Jadi Bu Teti tidak merasa terganggu.
Dia juga pernah diberi sendok yang berbentuk seperti kecapi khas Bugis tepat di depan Makam Karaeng Galesong.
“Untuk apa sendok ini ?,” tanya Bu Teti.
“Di sini panganmu,” jawab ‘orang’ itu.
Entah yang menjawab itu arwah Karaeng Galesong atau arwah lainnya. Yang penting maksud dari kalimat itu adalah “Hidup matiku di sini”.
Sekitar 50 menit berbincang, kami mengakhiri perbincangan dengan berdoa untuk Karaeng Galesong. Setelah berdoa, kami berpamitan kepada pasangan suami istri tersebut dan mendoakan kelancaran mereka.
Hujan juga sudah berhenti, saya dan Abim mulai berjalan keluar dari makam. Kemudian kembali menaiki sepeda motor yang basah kuyup terkena hujan. Sekitar pukul 15.40 WIB kami pun meninggalkan Makam Karaeng Galesong. Waktunya pulang ke Malang.
Kami sampai di Malang tepat pada pukul 19.10 WIB. Lebih lama daripada saat berangkat. Itu karena kami makan siang dulu di Pujon. Lalu, istirahat 20 menit di Alfamart Kota Batu. Barulah sampai di Malang.
Pangeran Gowa di Ngantang
Karaeng Galesong merupakan pangeran dari kerajaan Gowa yang menjadikan Ngantang sebagai daerah pertahanannya dan gugur di san tulis Rizky Wahyu Permana dari Merdeka.com 13 Desember 2016
Memiliki kontur yang penuh gunung dan terkurung gunung-gunung ternyata tidak membuat wilayah Malang menjadi tempat yang betul-betul terpencil dan sepi dari manusia. Tercatat sejak masa lalu, bahkan daerah yang cukup bergunung dan jauh seperti Ngantang telah dihuni oleh seorang pangeran dari Gowa yaitu Karaeng Galesong.
Bahkan karena terjal dan cukup sulitnya akses ke daerah Ngantang ini, wilayah tersebut malah dijadikan Karaeng Galesong bersama Trunojoyo penguasa asal Madura sebagai benteng terakhir pertahanan mereka. Kedua bangsawan dari wilayah yang berbeda ini saling bekerjasama dalam melawan kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Adipati Anom. Karaeng Galesong sendiri diketahui merupakan menantu dari Trunojoyo.
Karaeng Galesong sendiri merupakan salah satu putra dari Pangeran Hasanudin. Perjalanan jauh yang dilakukannya ke Jawa Timur merupakan akibat dari jatuhnya kerajaan Gowa ke kekuasaan Belanda pada tahun 1669. Karena kondisi itu dia memilih untuk mencari perlindungan ke wilayah lain dan akhirnya dia mendarat ke sebelah timur Pulau Jawa.
Di Jawa sendiri, Trunojoyo dan Karaeng Galesong sebenarnya memiliki wilayah pertahanan di Kediri dan Bangil. Namun desakan dari Kerajaan Mataram yang dibantu oleh VOC membuat mereka terus tertekan hingga akhirnya terdesak sampai wilayah Blitar kemudian ke Malang dan pada akhirnya tertekan hingga sampai di Ngantang.
Dengan keterbatasan prajurit yang mereka miliki, wilayah Ngantang yang cukup terpencil dan tertutup diyakini dapat cukup menahan serangan dari lawan. Karaeng Galesong sendiri juga mundur dari daerah pertahanannya hingga akhirnya bergabung dengan Trunojoyo di Ngantang.
Namun sayangnya pada 21 November 1679, perlawanan yang sengit dari Karaeng Galesong harus berakhir bukan karena hunusan pedang lawan namun karena penyakit yang dideritanya. Karaeng Galesong kemudian dimakamkan di wilayah pertahanannya di Ngantang dan makamnya hingga sekarang masih terawat.
Meninggalnya Karaeng Galesong menimbulkan sedikit fraksi di barisan pasukan Makassar yang berada di barisan Trunojoyo. Sebagian memilih untuk kembali ke Makassar namun lebih banyak lagi yang tetap bergabung dengan Trunojoyo untuk melawan Mataram yabg dibantu oleh VOC. Walau begitu karena pasukan yang terus berkurang dan melemah, perjuangan Trunojoyo akhirnya juga harus berakhir pada tahun 1680.
Menurut “malangkab-pusat-opd Senin & Budaya” yang terbit 21 Januari 2020, Ngantang, sebuah daerah di Kabupaten Malang, tidak jauh dari Kota Batu yang menjadi peristirahatan terakhir sang Karaeng Galesong, seorang pejuang dari Makassar. Daerah ini sejuk dan asri, dan di sinilah terdapat sebuah pemakaman yang luasnya sekitar seratus meter persegi, dengan beberapa pohon kamboja tua.
Suasana pemakaman tampak bersih, hanya terdapat beberapa batu nisan dengan tatanan batu bata tua yang sudah berlumut dan sebuah gundukan agak memojok dengan nisan yang telah berlumut pula. Diyakini makam ini adalah kerabat Karaeng Galesong. Tidak jauh dari gundukan tersebut, terdapat batu nisan dari marmer yang tampaknya belum begitu lama dipasang. Di sinilah makam Karaeng Galesong berada. Kuburan yang ditata dengan tumpukan batu bata dipenuhi lumut. Di antara nisan dan kuburan, berdiri tiang sekitar satu meter dengan bendera merah putih. Di bawah kibaran bendera terdapat tulisan kata “pejuang”.
Pada prasasti marmer di kuburan itu, terukir tulisan berwarna emas menggunakan bahasa Arab, yang terjemahan bebasnya berarti, “di sinilah dimakamkan seorang pejuang yang berjuang di jalan Allah.” Di bawah prasasti ini terdapat tulisan nama sebuah kelompok pengajian, yang menyebut diri warga Malang keturunan Galesong.
Masyarakat Bugis Makassar memang banyak bermukim di Malang dan sekitarnya. Karaeng Galesong pun menjadi kebanggaan. Ziarah ke makam sang karaeng merupakan rutinitas. Dua tahun lalu, misalnya, masayarakat Sulawesi-Selatan yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Malang Raya dan Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Indonesia Sulawesi Selatan (IKAMI Sulsel) Cabang Malang mengadakan acara memperingati hari korban 40.000 Jiwa, yang salah satu kegiatannya adalah berziarah ke makam Karaeng Galesong. (*)