“Jadi kami anggap pembuktian-pembuktian hak milik Terlapor Ishak ini sengaja dimatikan karena tidak terungkap dalam proses Penyelidikan,” ujarnya.
Perilaku Penyidik itu, lanjutnya, tadi yang mendasari sehingga kami menyurat keberatan atas perilaku Penyidik dalam penanganan dari pada Pasal 167. Ketika Surat kami dilayangkan ke Polda Sulsel maka Polda memerintahkan Direktur Kriminal Umum (Dirkrimum) untuk segera mengevaluasi digelarkannya perkara.
Kemudian setelah digelar perkarakan, lagi-lagi pembuktiannya menyudutkan Terlapor Ishak karena Penyidik ini mengalibikan bahwa dasar Pelapor Hj. Wafiah Syahril memiliki tanah ini diatas objek tanah Ferpondim, sementara objek yang dipermasalahkan pada Pasal 167 tersebut tidak berada dalam Status Tanah Ferpondim.
“Justru berada di dalam Status Tanah Adat C1 berdasarkan keterangan-keterangan yang telah dikeluarkan oleh keterangan IPEDA ke Pajak Pratama kemudian Bapenda dan Walikota sendiri mengatakan secara lisan bahwa di Barombong itu tidak ada Tanah Redis, justru Tanah Adat C1,” urainya.
Dari perilaku inilah sehingga dalam Gelar Perkara, Penyidik memiliki rumusan untuk memenangkan pihak Pelapor Hj. Wafiah Syahril dalam membangun suatu kontruksi alibi yang tidak memiliki dasar tujuan, dan anehnya lagi setelah berjalannya persoalan ini maka timbul lagi permasalahan baru yaitu dengan munculnya Pasal 263 ayat (2) yang tadinya hanya persoalan Pasal 167 tentang Penyerobotan Tanah.
Dalam proses penyelidikan, Penyidik tidak membuka mata tentang kebenaran milik Terlapor Ishak namun justru berada pada pihak Pelapor Hj. Wafiah sehingga membuat tim kuasa hukum merasa keberatan dengan menyurat ke Polda dan dari pihak Polda segera memerintahkan Gelar Perkara Khusus.
Di dalam Gelar Perkara Khusus itu secara fakta Pengacara serta Penyidik tersebut mengungkap bahwa objek tersebut berasal dari Tanah Ferpondim. Usai Gelar Perkara Khusus itu, Terlapor Ishak Hamzah bersama Bidkum mendatangi Polda lagi dengan meminta hasil Gelar Perkara yang sudah digelarkan secara khusus tersebut yang mana hasilnya secara tertulis dikatakan SP3D dari hasil Gelar Perkara Khusus itu hanya Pasal 167.
Sebenarnya dari penerapan Pasal 263 ini berawal karena pandangan opini Agus Khairul sebagai mantan Kasat Polrestabes dalam Gelar Perkara tersebut yang mempertanyakan kepada Terlapor Ishak Hamzah berapa Nomor Persil yang ada dalam Putusan Pengadilan Agama, setelah itu Ishak menjawab 21. Sesudah Agus Khairul mengetahui bahwa Persil didalam Putusan Pengadilan Agama berbeda dengan Warkahnya Terlapor Ishak, sehingga disitulah dia mendasari masuknya Pasal 263 ayat 2.
Kita menyikapi kalau dengan perbedaan itu tadi Penyidik atau Wassidik menyimpulkan untuk memasukkan Pasal 167 ditambah Pasal 263 ayat (2) tentunya kami tidak mengkebiri Hak Penyidik atau Wassidik untuk menambahkan itu, tetapi kami hanya melihat tidak Rasional sebab Penambahan 263 itu tadi disandingkan dengan 167 alasannya cuma satu bahwa Pemohon dalam Penetapan Kewarisan itu tidak pernah memohonkan Persil 21 melainkan Persil 31 dan itu terbukti. (*Rz)