Ketika Saiful Arif pulang ke Selayar, tidak hanya mendidik pers di Selayar, tetapi juga memimpin organisasi Ikatan Persaudaraan Haji di Kabupaten Kepulauan Selayar. Dan, oleh sebab itu harus betul-betul membaca buku ini. Kalau mau menjadi wartawan benar, belajarlah pada Pak Basir.
Saiful mengakui pada saat menjadi karyawan Deppen, bukan dia yang mendaftar, melainkan didaftar dengan lokasi tugas di Buton karena di daerah itu ada Kepala Kantor Deppen di daerah itu yang juga kakak sepupunya.
Saiful pun diundang ke sana karena tahu dia juga dibutuhkan karena memiliki pengetahuan agama. Namun nasibnya bukan di Buton, karena dia terangkat gara-gara jatahnya diambil orang lain. Yang mengambil jatah tersebut di-nonjob-kan.
Saiful kembali ke Makassar dan mendaftar di Unhas. Akhirnya, dia mengabdi pada Prof. Dr. Moh. Askin, SH di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Unhas. Saiful Arif di PR satu generasi dengan Insan Ikhlas Jalil, Norma Djidding, dan Heryani Yahya.
Ketika dia ditugaskan di Selayar, dia bukan hanya koresponden, tetapi juga loper koran. Mengantar koran. Karena korannya dua hari baru tiba di Selayar pada malam hari. Jadi kalau dibaca, sudah agak basi.
“Saya sangat terkesan dengan konfirmasi itu karena itu kode etik. Banyak teman wartawan mungkin karena zamannya tidak mendalami itu lagi. Lima W+H hampir tidak dikuasai lagi,” ujar Saiful Arif.
.
Dia mengakui sangat terkesan juga dengan apa yang ditulis dalam buku M. Basir itu. Hanya saja di Selayar, terkadang sering terpojok karena berita yang tidak terkonfirmasi. Jadi, kalau wartawan di Selayar harus membaca buku 100 Tahun M. Basir.
Saiful Arif juga mengatakan, M. Basir juga mengingatkan dalam bidang pariwisata di Selayar. Dia, M. Basir menegaskan, para wisatawan tidak memerlukan taman yang indah. Mereka sudah terlalu jenuh dengan itu. Yang perlu adalah keaslian alam yang harus dipertahankan. (Bersambung)