Oleh : Victor Da Costa
(Mantan Juru Bicara Antasari Azhar)
MENGAWALI kajian perihal pelanggaran dan kecurangan Pemilu, sewajarnya bila kita melihat dulu definisi dari Pemilu dan proses serta tahapan penyelenggaraannya.
Mengutip dari Sistem Pengawasan Pemilu milik Badan Pengawas Pemilu, Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden.
Dan juga untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Definisi Pemungutan Suara adalah proses pemberian suara oleh pemilih di TPS pada surat suara dengan cara mencoblos nomor urut, nama, foto pasangan calon, atau tanda gambar partai politik pengusul untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian mencoblos nomor urut, atau tanda gambar partai poltiik, dan/atau nama calon untuk Pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, serta mencoblos nomor urut, nama calon, atau foto calon untuk Pemilu anggota DPD.
Penghitungan suara adalah proses penghitungan surat suara oleh KPPS untuk menentukan suara sah yang diperoleh Partai Politik untuk calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Untuk Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Calon perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan pasangan calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta surat suara yang dinyatakan tidak sah, surat suara yang tidak terpakai dan surat suara rusak/keliru coblos.
Membahas tentang Pelanggaran atau Kecurangan Pemilu, sebaiknya kita tidak hanya belajar dari efektifitas / efisiensi system informasi berbasis internet seperti di luar negeri semata, karena melihat kembali dari Sejarah Kepemiluan di Indonesia akan lebih realistis dan membumi tentunya.
Pemilu di era orde lama dengan jumlah partai yang begitu banyak telah kita lalui. Begitu pula era orde lama dimana demokrasi ‘terbatas’ oleh kekuasaan penyelenggaraan negara begitu rupa, mulai dari jumlah partai politik peserta Pemilu yang dipaksa dengan fusi parpol hingga hanya ada tiga parpol.
Proses rekruitmen bakal calon anggota Lembaga Legislatif mulai dari pusat hingga tingkat kabupaten kota oleh masing-masing parpol hingga pemungutan suara dan hasil perhitungan, tetap harus melewati tahapan “Litsus oleh Penguasa” untuk bisa dipastikan menduduki kursi parlemen.
Pemilu era orde baru ini saya istilahkan sebagai Sistem Pemilu Proporsional tertutup dan terbatas. Pemilu di Era Reformasi telah diawali dengan Pemilu tahun 1999, di mana euphoria masyarakat atas tumbangnya kekuasaan Pak Harto kala itu, dan Presiden Habibie didukung oleh masyarakat dunia agar terselenggara Pemilu yang “Benar-benar Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia”, serta penggunaan tinta yang konon tak bisa di hapus selama 24 jam merupakan pertama kalinya digunakan dalam Pemilu.
Tidak berlebihan bila Pemilu 1999 dinyatakan sebagai Pemilu terbersih yang pernah diadakan di Indonesia. Hal tersebut bukan berarti bahwa Pemilu setelah tahun 1999 tak ada lagi Pemilu yang “bersih” !. Tentu tidak namun penegasan ini perlu mengingat Pemilu setelah Tahun 1999 adalah merupakan hasil upaya Trial / Eror Sistem Pemilu beserta evaluasinya.