PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Pada 30 Desember 2022 secara tiba-tiba pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang alias Perppu no 02 tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) 25 November yang lalu melalui putusan No 91/PUU-XVIII/2020.
Penerbitan Perppu ini jelas sebagai salah satu bentuk pembangkangan, pengkhianatan, atau kudeta terhadap Konstitusi RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintah.
Gejala otorianisme pemerintah ini penting dibaca dari rangkaian panjang dan konsisten yang membuat rakyat semakin khawatir. Hal ini diungkapkan oleh Humas Aliansi Protes Rakyat Indonesia (APRI) Sulsel Mira Yati Amin, saat menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD Sulsel Jl Urip Sumoharjo No.59, Kota Makassar, Selasa (28/02/2023) sekira pukul 15.30 Wita.
Aksi ini diikuti oleh beberapa elemen organisasi buruh, mahasiswa, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Aliansi Protes Rakyat Indonesia (PRI) Sulsel.
Dalam orasinya, Mira Yati Amin mengungkapkan, dalam aksi ini terdapat 7 (tujuh) tuntutan yaitu, menolak dan minta pemerintah mencabut Perppu No 02 tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja, cabut UU Cipta Kerja dan seluruh produk hukum turunannya, lawan perampasan ruang hidup.
Selanjutnya, tolak RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), stop kriminalisasi rakyat, sahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU-PPRT), dan hentikan industri ekstraktif (industri yang bahan bakunya diperoleh langsung dari alam, contohnya pembalakan pohon di hutan untuk diambil kayunya, red).
Lanjut Mira, setelah disahkannya Perppu UU Cipta Kerja ini, teman-teman dari koalisi nasional sebenarnya sudah langsung memasukkan Judisial Review (JR) terhadap Perppu Cipta Kerja, jadi mereka kemudian meminta untuk uji materi UU tersebut.
“Karena, sebenarnya kan Perppu ini harusnya dikeluarkan ketika negara kita dalam keadaan genting,” jelas Mira, perempuan cantik yang juga berasal dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar ini.
Narasi kegentingan ini pada dasarnya sangat subyektif, artinya kembali lagi pada penilaian presiden, namun sampai sejauh ini pemerintah tidak menarasikan kegentingan yang dimaksud itu seperti apa.
Padahal notabene, Cipta Kerja itu bisa diulur waktunya untuk serius melakukan revisi. Kalau kita ketahui misalnya dari tahun 2020 pada saat UU omnibus law atau Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), maka diberikan range waktu 2 (dua) tahun untuk di revisi.
“Tapi yang dilakukan bukan untuk merevisi UU Cipta Kerja, tapi malah merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada tahun 2022, dan terakhir di 2023 itu malah pemerintah mengeluarkan Perppu,” ujarnya.