SEPERTI, saya harus membaca berita sebelum tertidur pulas. Kali ini, rasanya mata tak mau kompromi. Juga, tak tunduk pada “otak perintah” setelah membaca “kop” berita, Pemilu akan ditunda ke 2025.
Otak “kiri” saya mulai berasumsi, apa yang selama ini jadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, terbukti. Artinya, akan ada “langkah” berikut yang merupakan “skenario” sejumlah elit politik bakal menyusul.
Saya baca sambil menyimak menggunakan otak “kanan”. Ternyata, Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Artinya, asumsi saya harus out dulu. Tak bisa dilanjut untuk sementara.
Sebagai mantan Anggota Pleno Pengawas Pemilu (Panwaslu – sekarang Bawaslu) Kota Makassar yang pernah jadi Ketua Panwaslu di Kecamatan Manggala, saya ingat betul bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) “ditunjuk” oleh UU Pemilu mengadili perkara Pemilu. Kalau soal sengketa administrasi, diserahkan ke Bawaslu. Apabila lanjut, hanya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Saya tak berani mengatakan PN Jakpus telah keliru dalam putusannya. Tapi kalau memang PN berwenang mengadili, selayaknya, tak menghukum KPU untuk menunda Pemilu. Karena selain merugikan sejumlah Partai Peserta Pemilu, juga dianggap telah bertentangan dengan Konstitusi yang mewajibkan Pemilu tiap 5 tahun.