“Sampai di sini ya Nek. Nenek istirahat di kamar, mungkin rombongan nenek masih di Masjidil Haram. Nanti kalau saya bertemu mereka yang menggunakan syal orange, akan diberi tahu kalau nenek sudah berada di hotel,” saya menjelaskan.
Tak lama kemudian tangis pun pecah. Mereka semua meraung-raung menangis dalam keheningan malam itu. Saya tak kuasa menahan tangis. Bersama mereka karena telah memberi saya pelajaran sangat berharga. Saat itu tangan saya mereka elus-elus sembari mengucapkan untaian terima kasih dalam Bahasa Padang yang tak saya mengerti. Namun tersirat, mereka mendoakan kebaikan.
“Iya, Nek. Saya kembali lagi tugas di Masjidil Haram,” kata saya masih terisak-isak.
“Terima kasih ya, Nak, sudah mengantarkan nenek. Nenek tidak tahu bagaimana keadaan nenek kalau tidak ada petugas yang menemukan nenek di Masjidil Haram. Ya Allah, Nak, Nenek sudah tua Nak. Nenek sudah pikun. maafkan kalau merepotkan ya, Nak. Doakan ya, Nak mudah-mudahan Nenek panjang umur, bisa kembali ke Padang dengan sehat selalu. Biarkan perbekalan yang Nenek bawa ini selalu mengingatkan Nenek untuk selalu mengingat kematian. Harapan nenek semoga menjadi husnul khatimah,” jawab nenek Komirah tetap terisak-isak.
Saya tinggalkan mereka dengan salam. Saya membasuh air mata yang masih mengalir sambil melangkahkan kaki dengan berat memasuki lift menuju ke lantai dasar hotel. Saya mendapatkan pengalaman dan pembelajaran terbaik sepanjang tugas di Masjidil Haram ini. Tak kan saya lupakan 9/9/2017 ini.
Pengalaman sarat ilmu dari dua nenek bersaudara itu. Pelajaran tentang kesetiaaan dalam beribadah. Kesetiaan dalam menghadapi situasi sulit, dan yang paling utama kesiapan syahid di Tanah Haram ini.
Terima kasih atas pelajaran yang sangat berharga, semoga, Nenek Yasminah dan Komiroh di mana pun berada tetap diberikan kesehatan dan umur yang panjang. Saya memperoleh pelajaran berharga dari keduanya. (*)