Ajiep mengungkapkan, selaku fasilitator, kegiatan kongres yang akan diselenggarakan ini, digagas mulai di tahun 2022 lalu, dengan dasar kesadaran bahwa pemerintah terlebih pemerintah daerah, memiliki kebijakan yang jauh dari faksi budaya utamanya budaya lokal.
“Rencana pembangunan nasional secara 2045 yang menentukan arah perjalanan bangsa, apakah kita tetap ber-Indonesia 100 tahun yang akan datang? Siapakah potret diri kita atau indonesia ke depan ini? atau apakah budaya Sulsel masih mengenali budaya maritim? Untuk itu melalui FIB sesuai dengan visi dan misinya, dapat diperoleh informasi dan bahan-bahan rumusan tentang budaya sulsel atau pun budaya Indonesia ke depan,” terangnya.
Ajiep mengharapkan, dengan seminar yang dilaksanakan, pantia kongres mendapatkan rumusan-rumusan dengan pikiran-pikiran tentang budaya maritim yang dapat mendorong serta memfasilitasi pembangunan manusia Indonesia ke depan.
“Apakah kita masih memiliki kalimat pelaut yang tangguh. “kualleanna tallanga natoalia” sebuah nilai yang sekedar diucapkan lebih baik tenggelam dari pada balik ke pantai, tetapi tidak memiliki persiapan, kompetensi, tentang bagaimana melihat bintang-bintang untuk berlayar atau bisa membaca ombak yang akan menenggelamkan perahunya dengan kekuatannya. Apakah hal-hal seperti ini masih ada yang terumuskan di budaya maritim kita? Bagaimana kehidupan nelayan dan masyarakat pantai yang secara sosiologis yang mana terbelakang ekonominya dibandingkan masyarakat agraris? Karena fakta menunjukkan bahwa kabupaten-kabupaten kepulauan atau wilayah pesisir, geopertumbuhannya lebih tinggi dibanding kota daratan. Jadi kata kuncinya adalah manusianya,” tutur Ajiep Padindang. (rk/zl)