Oleh M. Dahlan Abubakar
TIDAK terasa, hari ini, 8 November (1971-2023), 52 tahun sudah saya meninggalkan Kanca, desa kelahiran, 55 km di sebelah selatan Kota Bima. Saya tidak pernah tahu mengapa saya memilih Kota Ujungpandang (Makassar sekarang) sebagai tempat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Boleh jadi karena pengaruh siaran RRI Nusantara IV Ujungpandang yang kerap ayah dan saya dengar saban hari di rumah. Atau mungkin secara tidak sadar, kami memiliki nasab keturunan masa lalu antara Gowa dengan Bima pada masa kerajaan dulu.
Belum terbayang di dalam benak kendaraan apa yang bakal membawa saya ke Kota Ujungpandang-Makassar saat itu. Yang sering saya ingat, ada seorang teman se-kelas di SMAN Bima, Syafruddin Miri, selalu memanfaatkan setiap liburan kwartal ke Makassar. Suatu hari saya bertanya kepadanya, pakai apa ke Makassar. Dia menjawab perahu dengan lama pelayaran dua hari dua malam. Saya menduga dia akan menggunakan waktu begitu lama untuk pergi dan balik Sape Bima-Ujungpandang kala itu.
Hebatnya, pada saat masuk sekolah dia sudah ada lagi belajar seperti biasa. Kebetulan dia termasuk orang Bima keturunan Bugis yang tinggal di Sape, 42 km dari Kota Bima, di ujung timur Kabupaten Bima. Saya juga sering mendengar rekan Syafruddin Miri ini berbicara dengan salah seorang temannya dari Sape dalam bahasa yang waktu itu saya tidak paham. Pastilah itu bahasa Bugis. Saya tidak tahu ke mana gerangan sahabat itu. Saya kerap mampir istirahat belajar di garasi (tempat kos)-nya, sebuah kamar kecil hanya cukup untuk tidur satu orang, di belakang sekolah.