PEDOMANRAKYAT, MAMASA – Pemuda Panca Marga Sulawesi Barat (Sulbar) akan mengusulkan pejuang asal Kabupaten Mamasa bernama Demmatande sebagai pahlawan Nasional. Pengusulan diawali dengan seminar nasional tentang nilai-nilai kepahlawanan dalam merintis Kemerdekaan Republik Indonesia.
Seminar yang digelar itu, merupakan rangkaian dari pengusulan Demmatande sebagai pahlawan Nasional. Diikuti Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Kepemudaan dan Organisasi Keagamaan.
Pejuang asal Mamasa bernama Demmatande ini, diusulkan menjadi pahlawan Nasional atas perjuangannya melawan kolonial Belanda di Bumi Kodosapata, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Perjuangan Demmatande adalah salah satu bukti sumbangsih hadirnya
Kemerdekaan Republik Indonesia.
Catatan Singkat Demmatande
Demmatande lahir di Kampung Paladan, Distrik Orobua pada tahun 1862, atau 100 tahun silam. Warga di pesisir pantai (Mandar) dan tentara kolonial Belanda menyebut, pemuda Paladan ini dengan sebutan Daeng Matande.
Kampung Paladan kini jadi Desa Paladan, Kecamatan Sesena Padang, Kabupaten Mamasa. Demmatande lahir dari pasangan suami istri Bongga Masarin asal Tawalian dan Aruan Bulawan asal Paladan.
Demmatande memiliki 5 lima saudara, diantaranya Paotonan, Deppalana, Bongga Upa’, Sembanggayang, dan Langi’ Masirrin. Demmatande memiliki seorang istri yang bernama Tasik Mentodo’, keduanya dikaruniai seorang anak yang bernama Aruan Bulawan.
Jiwa kepemimpinan dan patriotismenya sudah mulai nampak sejak masa mudanya. Demmatande sangat dekat dengan warga yang dipimpinnya.
Kampung Paladan di bawah kepemimpinan Demmatande
berada dalam kondisi aman, tentram, dan damai. Demmatande juga sudah mulai membangun hubungan baik dengan pejuang-pejuang lainnya di wilayah Pitu Ulunna Salu (PUS), dan daerahdaerah lainnya seperti Toraja, Mandar, dan Bugis.
Pada tahun 1906, di Tana Toraja mulai diduduki oleh kolonial Belanda. Tahun 1907, tentara Belanda mulai masuk ke daerah Pitu Ulunna Salu – Mamasa. Ekspansi Belanda tidak mulus, sebab warga Mamasa melakukan perlawanan sebagai bentuk penolakan terhadap penjajahan.
Perlawanan warga Mamasa, dalam bentuk perang fisik dengan menggunakan persenjataan tradisional. Sementara tentara kolonial Belanda memakai persenjataan modern. Perang ini tidak seimbang, sehingga Mamasa dengan mudah diduduki oleh tentara kolonial Belanda.
Sejak tahun 1909, perlawanan fisik meredup, dan sejak saat itu kolonial Belanda praktis menguasai daerah pegunungan Sulawesi bagian barat. Mamasa beruntung, sebab memiliki seorang patriot muda yang terlahir di Paladan. Namanya Demmatande atau Daeng Matande.
Dari Demmatande-lah, semangat perlawanan itu kembali membuncah dan menginspirasi di bumi Pitu Ulunna Salu Kondosapata. Perlawanan Demmatande terhadap tentara kolonial Belanda sangat beralasan dan masuk akal.
Ketika itu tahun 1910. Rakyat Mamasa dipaksa bayar pajak, dan yang dianggap berat ketika diberlakukan kerja rodi atau kerja paksa. Rakyat dipaksa membuat jalanan di sepanjang jalan dari Mamasa
hingga daerah Kunyi, bahkan sampai ke Takatidung, Polewali.
Banyak rakyat yang tidak mampu bayar pajak kepada kolonial Belanda. Kerja paksa juga sangat menyiksa rakyat pegunungan. Termasuk Demmatande dipaksa bekerja di Sumarorong hingga Polewali. Rakyat Paladan dan rakyat pegunungan umumnya disuruh kerja paksa yang diawasi oleh mandor-mandor Belanda.
Terkadang rakyat dipukul, dicambuk, atau tindakan tidak terpuji lainnya. Tindakan para mandor Belanda yang dianggap tidak senonoh dan kejam itulah yang membuat Demmatande menolak melanjutkan kerja paksa. Ia memberontak.
Ia mengajak semua rakyat yang sedang kerja paksa di jalan-jalan untuk kembali ke kampung di pegunungan. Di Mamasa, tentara Belanda atau Marsose marah dan menargetkan akan menghukum Demmatande. Tentara Belanda sudah tidak sabar, sehingga bergerak menuju kampung Paladan dan langsung mengobrakabrik
rumah kediaman Demmatande.
Ketika itu, Demmatande sementara dalam perjalanan atau sedang berada di perbatasan antara Messawa dan Polewali. Di Messawa, Demmatande dan rombongannya membuat benteng sebagai tempat pertahanan sementara.
Setibanya di Paladan, Demmatande kaget melihat rumahnya hancur. Lesung di depan rumahnya dibuang ke lembah dekat Salu Pangka oleh tentara Belanda. Tempayan tempat penampungan air dijadikan tempat pembuangan air besar (kotoran) oleh tentara Belanda.
Isi rumah lainnya berserakan di mana-mana. Melihat perlakukan tentara Belanda itu, Demmatande marah besar. Sejak saat itu, Demmatande kemudian menyerukan kepada semua pengikutnya untuk perang melawan tentara Belanda di Mamasa.
Ketika itu tahun 1912. Sebelum meletus perang sengit, Demmatande membangun benteng di Paladan yang kemudian dikenal Benteng Salu Banga. Rakyat Pitu Ulunna Salu Mamasa, mendukung keputusan Demmatande untuk melawan tentara Belanda yang sudah tidak berperikemanusiaan itu.
Perang di Benteng Salu Banga Benar-benar Terjadi
Demmatande tidak mau dijajah oleh Belanda. Demmatande melihat dan merasakan perlakuan tentara Belanda dengan menyiksa rakyat saat bekerja rodi dan dipaksa bayar pajak.