Disambut Hujan 40 Hari 52 Tahun Silam

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Kedua, Makassar juga disebut ‘’Kota Daeng’’. Kata ‘’Daeng’’ merupakan gelar dalam strata masyarakat Makassar. Dalam pengertian sehari-hari kata itu bermakna ‘’kakak’’. Tetapi, ‘’Kota Daeng’’, tidak dapat disebut ‘’Kota Kakak’’, tetapi tetap dengan sebutan ‘’Kota Daeng’’, yang mengindikasikan, kota yang ditinggali oleh penduduk beretnis dengan sapaan atau strata “Daeng’’ (Makassar) yang kini terdiri atas multi-etnis.

Ternyata, pelayaran malam hari itu hingga ke dekat cahaya itu, lama juga. Masih ada penderitaan yang tersisa lagi. Hujan deras turun pada malam hari, membuat cerita perih ini belum juga berakhir. Beruntung, perahu kian laju saja menuju arah cahaya di horizon itu, hingga pagi hari menjelang.

Pagi hari 15 November 1971, cuaca cerah muncul setelah hujan deras berlalu. Gelombang laut di Tanakeke, Takalar, sudah kami lewati pada malam harinya. Arus air di kawasan ini terkenal kencang. Bila kita sedang tidur dan kapal (setelah KM Kelimutu beroperasi 1986 dan diresmikan di Kupang oleh Menteri Perhubungan Roesmin Noeryadin. Saya satu-satunya wartawan Makassar yang meliput peresmian itu di Pelabuhan Tenau Kupang) terasa goyang keras beberapa jam setelah meninggalkan Pelabuhan Makassar, maka itu tanda daerah Tanakeke sedang dilintasi.

Saya melihat banyak perahu nelayan naik turun diayun gelombang. Ini juga pertanda tujuan kian dekat. Gedung-gedung kota mulai terlihat kian jelas. Waktu itu, pabrik terigu sedang dibangun di dekat Pelabuhan Makassar. Gedung yang sudah berdiri tersebut merupakan satu-satunya bangunan tertinggi di kawasan Pelabuhan Soekarno Makassar saat itu. Ketika pinisi “Masalihul Achyar” melintas antara Tanjung Bunga dan Pulau Laelae, kendaraan yang lalu lalang di Pantai Losari semakin jelas terlihat. Oh.. tujuan sudah di depan mata.

Baca juga :  Biaya Haji 1446 H/2025 M Turun, Efisiensi dan Optimalisasi Jadi Kunci

Sekitar pukul 11.00 tanggal 15 November 1971, lembaran sejarah baru hidup saya berubah drastis. Itulah saat pertama saya mendarat di pulau dan kota yang lain. Saya ’terdampar’’ di Makassar. Memulai hidup dan membuka lembaran sejarah baru dalam menganyam kisah dan cerita kehidupan ini. Sejarah perantauan panjang tak berujung dalam hidup ini.

Kami diturunkan di antara Pulau Laelae dengan Hotel Pantai Gapura sekarang, karena perahu ’’haram’’ memuat penumpang, hanya boleh membawa barang. Tentu tidak termasuk awaknya. Jika ditemukan oleh Syahbandar, pasti terkena denda. Tentu duit akan bermain supaya bisa 86.

Begitulah beberapa tahun kemudian setelah saya sudah menjadi wartawan suatu kali perahu motor yang kami tumpangi ditangkap di antara Pulau Laelae dengan Pantai Losari. Syahbandar langsung melompat naik, memeriksa muatan perahu. Kebetulan ada beberapa orang penumpang, ya, termasuk saya. Perahu itu sebenarnya boleh membawa penumpang karena bermotor. Tetapi namanya juga petugas, menjalankan tugas. Pemilik perahu yang tidak mau repot dan yang memeriksa juga mau, akhirnya “86” saja. Maksudnya, sama-sama tahu. Keesokan harinya, pemandangan di depan mata itu saya muat di harian “Pedoman Rakyat” (PR). Ya, tentu saja viral, karena PR waktu itu menjadi panggung informasi di Sulawesi Selatan.

Hujan turun dengan lebatnya, seolah menyambut kedatangan saya secara tidak bersahabat dan penuh tantangan, Tetapi sarat rezeki menurut anggapan banyak orang Tionghoa. Meskipun hujan turun tanpa henti, di kota Makassar tidak ada sungai besar yang membuat kota ini bisa kebanjiran. Rawa-rawa yang ditumbuhi kangkung yang menjadi komoditas bisnis pedagang kecil tumbuh di mana-mana. Termasuk di kampus almamater – kemudian — di Baraya, Universitas Hasanuddin.

Baca juga :  Melihat Postingan Keadaan 4 Anak Yatim Piatu, Putri Hamna Dakka Tergerak Hatinya Berikan Bantuan

Perahu yang kami tumpangi membuang sauh di antara Pulau Lae-Lae dengan Kantor Polsekta Ujungpandang sekarang. Kami menyewa sampan kecil ke darat, ketika hujan sudah mulai rintik-rintik. Di darat, ternyata hujan turun lagi dengan lebatnya. Waktu itu, saya naik becak – untuk pertama kali – bersama dengan salah seorang mahasiswa Fakultas Sastra Unhas, Kak Manar Ibrahim. Dialah orang yang mengajak saya kuliah di Fakultas Sastra Unhas kemudian, memupus impian saya melanjutkan pendidikan ke Akademi Pajak Indonesia (API) Ujungpandang yang sudah disertai surat dispensasi.

Di tengah hujan deras, becak meluncur ke Jalan Sunu, tempat tinggal Kak Manar Ibrahim. Waktu itu, saya hanya sempat membawa tempat pakaian yang memang dibuat khusus. Koper itu terbuat dari kayu jati produksi desa sendiri. Koper kayu ini hanya berisi beberapa lembar baju dan celana serta sarung. Dokumen penting untuk kelanjutan pendidikan saya di dalam koper ini.

Keesokan hari baru saya kembali ke Pelabuhan Hasanuddin, pelabuhan perahu-perahu besar ukuran pinisi dan lambo sandar, untuk menjemput barang yang tersisa. Pinisi dan sejenisnya selalu sandar di pelabuhan perahu ini, tepat di belakang Kantor Syahbandar (dulu). Kini lokasi pelabuhan perahu itu sudah berubah sebagai pelabuhan peti kemas Makassar.

Barang yang masih tersisa hanyalah beras dan satu jerigen air madu yang isinya sekitar 20 liter. Air madu produksi kampung sendiri inilah yang diminum saban hari satu canteng besar untuk mengantisipasi kedinginan bila pelaksanaan Masa Perkenalan Mahasiswa (Maperma) berlangsung. Teman-teman se-pemondokan pun saya berikan bila mereka ingin minum. Saya juga tidak tahu mau dihadiahkan kepada siapa air madu sebanyak ini.

Pada saat saya tiba, kota Ujungpandang sedang diguyur hujan 40 hari 40 malam. Matahari tidak pernah kelihatan. Pesawat yang melintas di atas kota Makassar hanya terdengar deru suaranya. Tak pernah terlihat sosoknya yang tertutup awan. Rawa-rawa di Kampus Unhas Baraya penuh dengan air hingga memasuki areal ruang di dalam gedung kampus. Saya dengar banyak dosen Unhas yang ke kampus terpaksa menyingsingkan celana dan menjinjing sepatunya.

Baca juga :  Hari Raya Idul Adha, Syamsul Bahri : Mengenang Pengorbanan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan Sitti Hajar

Meskipun hujan turun nonstop sebulan lebih 10 hari, tetapi tidak terjadi air tergenang yang parah seperti pada tahun 1990-an ini. Masalahnya, waktu itu masih banyak tanah kosong yang menjadi daerah resapan air dan perumahan belum seberkembang seperti sekarang ini. Air yang tergenang mengisi tanah-tanah kosong yang belum terbanguni perumahan. Andaikan saja hujan yang turun pada tahun 1971 itu mengguyur kota Makassar saat ini, saya tidak tahu seberapa tinggi air di rumah-rumah warga di kompleks-kompleks perumahan yang baru dibangun itu. (*)

1
2
TAMPILKAN SEMUA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Gubernur Sulawesi Utara Membuka Penerbangan Perdana Manado-Toraja

PEDOMANRAKYAT, TORAJA - Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) memulai penerbangan perdana rute Manado-Toraja menggunakan maskapai Wings Air. Gubernur Sulut...

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Beri Apresiasi Pengiriman Beras Kementan RI untuk Palestina

PEDOMANRAKYAT, JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM), melalui Bidang Buruh, Tani, dan Nelayan, menyampaikan...

Indonesia Berikan Bantuan 10.000 Ton Beras untuk Palestina, Mentan Amran: Ini Bentuk Solidaritas Nyata

PEDOMANRAKYAT, JAKARTA — Pemerintah Indonesia menyalurkan bantuan kemanusiaan berupa 10.000 ton beras kepada Palestina. Bantuan ini diserahkan langsung...

BAZNAS Luncurkan Program Z-Auto, Bukti Jika Zakat Bisa Digerakkan ke Sektor Produktif

PEDOMAN RAKYAT, MAKASSAR.- Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) terus menyemangati mustahik agar tidak berdiam diri dengan keadaan yang...