Oleh : Andi Pasamangi Wawo (Ketua Dewan Penasehat PWI Provinsi Sulsel)
SAYA, kadang merasa miris karena banyak teman seprofesi yang kini ‘tumbuh bak cendawan’ dalam dunia jurnalistik. Bahkan, ada yang sudah Pengurus inti organisasi kewartawanan dan memimpin media. Tapi, bahasanya masih sering ‘belepotan’ kekurangan atau kelebihan huruf mati. Bahasa gaulnya, ‘okkot’.
Kadang juga, penggunaan serta penempatan diksi dan tanda baca serta imbuhan dalam kalimatnya, tidak tepat. Padahal, tuntutan profesinya harus membuat redaksi yang singkat, padat dan mudah dimengerti.
Artinya, ketika menulis, seorang Wartawan mutlak harus tahu dan mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebab, akan mengirit dan mengedit kata dalam kalimat. Mengingat, ruang dan waktunya terbatas.
Sebagai ‘kuli’ tinta, disket dan digital yang pernah jadi reporter sampai Pemred Suratkabar serta mantan Wakil Ketua 3 (tiga) periode. Juga, Sekretaris merangkap anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam rangka memperingati HUT PWI dan Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini, saya mengajak (bukan mengajar) agar ‘teman teman’ jangan berhenti belajar. Teruslah ‘mengasah’ wawasan.
Minimal, mampu mengimbangi narasumber ketika wawancara. Sekedar untuk menyegarkan kembali, tugas media selain sebagai ‘alat’ sosial kontrol, juga berfungsi edukasi dalam rangka ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Karenanya, tiap suksesi kepemimpinan pengurus di’tubuh’ organisasi Wartawan tertua ini, PWI selalu mengedepankan Pendiikan sebagai program utamanya. Tak salah kalau Ketum PWI Pusat yang baru Chaerudin Bangun, menjadikan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai kewajiban anggotanya.