Penulis sepakat, sabung ayam dan adu kerbau adalah budaya toraja, namun penyelundupan judi melalui sarana sabung ayam dan adu kerbau jelas penyimpangan dan penghianatan terhadap budaya suku toraja.
Penegakan Hukum
Menyita perhatian publik masyarakat sulawesi selatan terkait penggerebekan arena judi sabung ayam oleh Tim Resmob Polda Sulsel di Kabupaten Toraja Utara dengan perputaran uang tiap hari di arena judi tersebut bisa mencapai Rp 1 miliar. Dalam perkara tersebut dilakukan penangkapan terhadap 35 orang terduga pelaku dan pengamanan barang bukti. Perkembangan perkara kasus tersebut sampai saat ini jumlah Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebanyak 7 SPDP, jumlah tersangka 22 orang.
Penulis juga berharap aparat melakukan penindakan yang tegas pada judi adu kerbau khususnya pelaku yang mendatangkan kerbau aduannya pada pesta kematian (Rambu Solo’) dengan tujuan untuk berjudi bukan kerbau milik keluarga yang akan dikurbankan atau kerbau bantuan pada keluarga (petuaran). Kerbau petarung yang dijadikan sarana judi dapat disita oleh penyidik sebagai barang bukti dan pemilik dari kerbau tersebut dapat dijadikan tersangka karena atas persetujuannya, kerbau miliknya dijadian sarana perjudian ataupun juga turut serta (medeplegen) sebagai pemain meskipun tidak hadir ditempat judi tapi menyaksikan lewat vidio live streaming. Demikian juga secara teori pertanggungjawaban pidana keluarga yang mengizinkan judi dengan kerbau petarung masuk dalam acara prosesi pemakaman (rambu solo’) juga dapat dipidana karena menyediakan tempat untuk menjadi sarana berjudi tanpa ada ijin dari pemerintah cq. aparat kepolisian termasuk persetujuan pemangku adat setempat.
Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
Harga dari kerbau petarung ini juga sangat fantastis puluahan hingga ratusan juta rupiah dan nilai taruhannya juga sangat besar sehingga dapat dijadikan juga pintu masuk oleh penyidik mengungkapkan tindak pidana lain (predicate crimes) yang terkait dari fonomena dibalik judi ini. Bagi seorang penyidik harus memiliki instink yang tajam mengungkapkan modus operandi dari suatu fakta dan fenomena kejahatan. Kepemilikan dari kerbau tersebut dapat menyasar hingga ke perbuatan tindak pidana korupsi (hasil kejahatan) atau tindak pidana pencucian uang. Langkah-langkah hukum yang tegas seperti ini akan memberikan efek jera dan psikologis bagi pelaku judi yang hanya berpikir foya-foya tanpa memikirkan dampak dari judi tersebut bagi masyarakat.
Penegakan hukum yang tegas oleh Kapolda Sulsel belakangan ini patut kita acungkan jempol dan akan didukung oleh Kejaksaan melalui proses hukum yang tegas dan tuntas sampai ke pengadilan sebagai sebuah kewajiban moral karena penegakan hukum yang tegas dan tuntas adalah bentuk keseriusan dan tanggung jawab dalam upaya represif pemberantasan perjudian yang sangat marak di Toraja. Pendekatan instrumen hukum diperlukan untuk membuka mata para pelaku, yaitu perjudian melalui sabung ayam dan adu kerbau selain penyimpangan budaya juga pelanggaran hukum.
Tanggung Jawab Moril
Saat penulis berkunjung ke Tanah Kelahiran (Toraja), penulis sebagai Putra Toraja menyaksikan, praktik judi tak lagi mengenal situasi dan kondisi, para pejudi melihat dimana ada kesempatan, maka saatnya berjudi. Penulis melihat saat hari keagamaan umat kristiani (natal) praktik judi malah menjadi semakin marak. Pendirian Ketuhanan tidak lagi memiliki ruang dihati oknum-oknum tersebut. Fenomena yang sangat memilukan namun inilah fakta yang terjadi.
Sebagai Putra Toraja, kita tentunya memiliki tanggung jawab moril terhadap masalah ini. Diam dan membiarkan kejahatan terjadi saat kita memiliki kemampuan untuk melakukan upaya perbaikan adalah kejahatan. “Manarang umpiak bannang, pande umpa’tallu beluak” artinya andai membela benang dan membagi tiga rambut. Falsafah ini dimaknai, sejatinya orang Toraja terlahir dengan kemampuan untuk menyelesaikan masalah sesulit atau serumit apapun itu, serta dalam kondisi apapun. Dalam memberantas judi ini dibutuhkan kesadaran kolektif dengan satu suara dan satu gerak, judi ini adalah penyimpangan yang harus diberantas oleh seluruh pihak mulai dari APH, Pemerintah Daerah, dan masyarakat sesuai dengan falsafah toraja misa’ kada dipotua, pantan kada dipomate artinya “satu pendapat membuat kita hidup, banyak ego pendapat membuat kita mati.