Catatan M.Dahlan Abubakar
Hari ini, 2 Juni 2024, jagat media sosial wartawan Sulawesi Selatan menayangkan berita duka. Drs. Hasyim Ado, salah seorang wartawan senior Indonesia berpulang ke rakhmatullah di Ternate. Almarhum menutup usia pada usia 79 tahun kurang 14 hari. Almarhum dilahirkan di Raha Sulawesi Tenggara 16 Juni 1946, putra seorang guru. Hasyim memulai debut jurnalistiknya di media radio dan bertahan hingga menjalani masa purnatugas.
Saya memang sudah lama tidak bertelepon ria dengan almarhum.Sekai waktu, pernah sekali. Waktu itu kalau tidak salah, Kak Hasyim, begitu biasa saya menyapanya, sedang dalam perjalanan Jakarta-Bandung. Kayaknya waktu itu, dia dalam perjalanan untuk membawakan materi pada pendidikan jurnalis radio di Jawa Barat. Setelah diangkat sebagai pegaai negeri sipil di RRI Makassar pada tahun 1971, enam tahun 1976 kemudian, Hasyim memulai tugasnya sebagai seorang reporter radio.
Jika dilihat dari profesi ayahnya, La Ode Ado, suami dari Wa Ode Kambalangi ini, pada diri Hasyim tidak ada darah wartawan. Ayahnya pada tahun 1945-1949 tercatat sebagai guru di Makassar. Ia tergabung dalam kelasykaran yang dibentuk kala itu. Sambil belajar di Normaal School, La Ode Ado hidup dalam suasana revolusi fisik yang diwarnai perjuangan melawan penjajah.
Hasyim Ado, anak ketiga dari 15 bersaudara, lahir ketika ayahnya belajar di Normaal School. Ia menjadi wartawan radio atas bimbingan para seniornya, seperti Emma Pangemanan dan A.Aziz Husain. Dalam perjalanan kariernya kemudian dia berkenalan dan bergaul dengan wartawan senior lainnya dari media cetak, seperti L.E.Manuhua dan M.Basir ( Harian Pedoman Rakyat). Giliran berikutnya, dia berkenalan pula dengan Rahman Arge, Arsal Alhabsy, Andi Moein MG, dan M.Alwi Hamu.. Kedua yang disebut pertama selain dikenal sebagai wartawan dan juga seniman.
Hasyim pernah menimba pendidikan jurnalistik radio di luar negeri. Tepatnya di Koln Jerman Barat antara tahun 1982-1983. Pendidikan itu dilaksanakan oleh Radio Deutsche Welle (Radio Jerman) yang siarannya juga dapat ditangkap di Indonesia dan dalam bahasa Indonesia. Ketika itu, dia juga sempat membantu TVRI dengan mengirim berita-berita yang tentu saja sesuai dengan misi televisi pemerintah kala itu.
Meski tercatat sebagai wartawan radio, Hasyim pun pernah membantu Harian Memorandum Surabaya pimpinan Agil H. Ali. Itu terjadi antara tahun 1983-1987 dengan posisi sebagai koresponden untuk Sulawesi Selatan.
Salah satu pengalaman yang tak terlupakan di benak Hasyim Ado adalah ketika tenggelam KM Tampomas II Januari 1981. Kala itu, dia berjalan-jalan di Pelabuhan Soekarno, setelah mendengar ada musibah tersebut. Dia melihat banyak tenaga SAR dan penyelamat lainnya berbondong-bondong naik ke sebuah kapal TNI Angkatan Darat. Rupanya, kapal itu akan bertolak menuju Kepulauan Masalembo, tempat kapal nahas yang dinakhodai Kapten Rivai itu tenggelam. (Saya bersama Kak Zohra Andi Baso (almarhumah) pernah mewawancarai Nakhoda Rivai di kamarnya di KM Tampomas II dalam pelayaran Makassar-Jakarta November 2018 saat bersama studi banding Jawa-Bali mahasiswa Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Budaya (FIISBUD) Unhas. Ketika saya meminta berfoto bertiga, Capt.Rivai menolak. Tetapi akhirnya untuk tidak mengecewakan kami, almarhum akhirnya mengalah. Beliau tepat di tengah. Saat KM Tampomas II terbakar dan tenggelam, saya ingat foto bertiga itu).
Begitu tiba di lokasi, Hasyim langsung mewawancarai para korban yang selamat. Alangkah bangganya, begitu tiba di darat, informasi dari Kepulauan Masalembo itu langsung disiarkan ke seluruh tanah air, bahkan ke mancanegara. Beberapa teman wartawan lainnya, banyak juga yang mewawancarai Hasyim, karena hanya dialah satu-satunya wartawan yang kebetulan baru pulang dari lokasi musibah kala itu.
‘’Ketika itu, komunikasi belum secanggih sekarang. Belum ada telepon seluler. Komunikasi hanya dilakukan dengan menggunakan radio kapal dan radio pantai serta radio single side band (SSB),’’ ujar suami Ny.Rabiah Arief ini, dalam wawancara di kursi paling belakang pesawat seri terbaru milik Lion Air, Boeing 737 900ER, 19 Mei 2008 malam.
Dia kemudian mulai masuk ke jabatan struktural, ketika dipercaya memimpin RRI Stasion Palu pada tahun 1989-1992. Dari Palu, dia ditarik kembali ke Makassar dan dipercayakan memimpin Bidang Pemberitaan RRI Makassar (1992-1997). Pada saat inilah, dia juga aktif sebagai Pengurus PWI Cabang Sulawesi Selatan dan dipercayakan sebagai anggota di Bidang Pendidikan, kemudian Bidang Organisasi.
Ketika di Makassar, saat-saat yang berkesan baginya adalah saat terjadi kerusuhan berupa pembakaran dan penjarahan toko-toko milik warga keturunan, akibat kematian salah seorang anak seorang dosen perguruan tinggi negeri lantaran ulah warga keturunan itu. Pangdam VII Wirabuana kala itu, Mayjen TNI Agum Gumelar, sempat dibuat pusing, hingga akhirnya menemukan seorang tukang becak yang bernurani suci. Dia hanya berpangku tangan dan termangu sedih menyaksikan teman-temannya yang menjarah isi salah satu toko di Jl. G.Bulukunyi.
‘’Mengapa tidak bergabung dengan mereka,’’ Agum Gumelar yang terharu dan terketuk hatinya melihat tukang becak itu mematung mencoba mengusiknya.
‘’Itu bukan milik saya. Biarlah miskin begini, tetapi saya tidak mau mengambil hak dan milik orang lain,’’ jawabnya ketika jenderal bintang dua itu mencari tahu penyebabnya.
Mata dan hati Agum Gumelar seperti tidak percaya dengan apa yang disaksikan dan didengarnya barusan. Mengapa masih ada anak Adam berhati mulia seperti ini.
Galibnya, anak manusia yang seperti dia memanfaatkan kesempatan, seperti juga yang lain. Tetapi, dia tidak sama sekali.
Kontan saja, tukang becak itu menjadi terkenal. Dia langsung menjadi ‘anak emas’ Agum Gumelar. Ternyata, penghargaan atas sikapnya yang jujur dan tidak ikut menjarah toko justru jauh lebih besar ketimbang yang didapat teman-temannya ketika memanfaatkan kesempatan insiden itu. Peristiwa itu juga dimaklumi Hasyim Ado yang saat ini memimpin Bidang Pemberitaan di RRI Stadion Madia Makassar. Dia ikut tersenyuh mendengar informasi dan peristiwa tersebut.
Selepas menjabat di Makassar, Hasyim terbang ke utara, tepatnya Ternate. Di daerah itu dia menjabat Kepala Stasion RRI Ternate. Kebetulan pula, Maluku Utara kala itu berdiri sebagai sebuah provinsi. Pemekaran dari Provinsi Maluku. Bersamaan dengan itu, dia menjabat Ketua PWI Cabang Maluku Utara pertama.
Di Maluku Utara, memberi pengalaman yang sangat luar biasa bagi Hasyim.
Selaku Kepala Stasion RRI, dia memimpin operasional pemberitaan melalui radio berkaitan dengan kerusuhan di daerah baru tersebut.
‘’Saya mengalami langsung ‘perang terbuka’ antara dua komunitas yang berbeda,’’ komentar Hasyim Ado dalam penerbangan Lion Air, Makassar-Jakarta malam itu.