PEDOMAN RAKYAT, JAKARTA. Anggota Dewan Pembina Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, S.H., M.H. mempertanyakan, demokrasi seperti apa yang dibutuhkan Indonesia dengan kondisi berdemokrasi di negara ini yang mengalami penurunan dua peringkat pada tahun 2023.
“Peringkat Indonesia dalam indeks konflik demokrasi 2023, pada tahun 2021 berada pada urutan ke-52, tahun 2022 peringkat ke-54, dan pada tahun 2023 di peringkat ke-56,” ujar Titi Angraini, S.H., M.H. pada seminar “Tantangan Menyelenggarakan Pemilu Damai di Pilkada Serentak 2024“ yang diselenggarakan PWI Pusat di Hall Dewan Pers, Rabu (5/6/2024).
Ketua PWI Pusat Hendry Ch.Bangun yang mengawali seminar dalam sambutannya mengatakan, seminar ini dilaksanakan karena selalu muncul berbagai tantangan dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada.
“Oleh sebab itu, PWI mengundang berbagai pihak yang berkompeten membahas masalah pilkada ini,” ujar Hendry Ch.Bangun dalam seminar selain menampilkan Titi Anggareni, juga Mendagri yang diwakili Dr.Suhajar Diantoro, M.Si, Tenaga Ahli Mendagri yang juga menjabat Wakil Rektor IPDN, Kapolda Metri Jaya diwakili Karo Ops Polda Metro Jaya Kombes Pol. Tery Kristianto S.IK, Ketua Dewan Pers Dr. Ninik Rahayu, dan August Melasz mewakili KPU Pusat yang bergabung melalui zoom (daring) dari Surabaya.
Titi Anggraini dalam paparannya berjudul “Menuju Pilkada Serentak 2024: Optimalisasi Partisipasi Masyarakat di Tengah Kelelahan Politik Pasca-Pemilu 2024” mengatakan, kita ini berada di tengah situasi yang sangat melelahkan setelah pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres). Kini kita akan memasuki pemilihan kepala daerah serentak yang mencakup 37 gubernur, 508 (415 bupati dan 93 wali kota). Di Jakarta hanya ada pemilihan gubernur.
“Kita ini akan masuk dalam situasi kelelahan politik dan pemilu,” ujar ibu satu anak yang dilahirkan 12 Oktober 1979 dalam seminar yang dipandu moderator Ketua Dewan Pengawas LPP TVRI 2023-2028 Dr.Agus Sudibyo, S.IP, M.Hum tersebut.
Menurut lulusan terbaik (cumlaude) dan Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas Hukum UI (2001) tersebut, model keserentakan pemilu lima surat suara/lima kotak dengan jarak yang sangat dekat dengan pilkada bisa mengakibatkan situasi kelelahan politik dan kelelahan pemilih (political and voter fatigue). Dampaknya, pemilih mungkin tidak optimal mengawal persiapan tahapan pilkada apalagi berfokus pada gagasan, program, ataupun rekam jejak peserta pemilihan. Ada potensi kuat meningkatnya kepesertaan calon tunggal di pilkada akibat pragmatisme politik sebagai ekses sentralisasi pencalonan dan kondisi partai politik yang belum sepenuhnya pulih atau terkonsolidasi pasca-Pemilu 2024.
“Pilkada akan damai kalau publik meyakini penyelenggara, proses, dan hasil pilkadanya berintegritas. Ketidakpuasan acapkali muncul karena ketidakyakinan pada integritas tiga hal tersebut,” kata lulusan S-1 dan S-2 (2001 & 2005) FH UI tersebut.
Titi yang pernah bekerja sama dengan berbagai lembaga demokrasi internasional mengungkapkan, berdasarkan “The Economist Intelligence Unit (EIU)” tentang indeks konflik demokrasi 2023, memasukkan Indonesia dalam rezim demokrasi cacat (flawed democracy) dari 4 tipe rezim yang ada demokrasi penuh (full democracy), demokrasi cacat (flawed democracy), rezim hibrida (hybrid regime), dan rezim otoriter (authoritarian regime). Indonesia pada peringkat 56 dunia (menurun dua peringkat).
Dosen tidak tetap Bidang Hukum Tata Negara FHUI (2022-sekarang) tersebut mengatakan, hendaknya anggaran pilkada tersedia dengan cukup dan dicairkan tepat waktu. Regulasi teknis tidak mepet waktu dan disosialisasikan dengan baik. Bisa mengantisipasi yudisialisasi politik pengaturan pemilu (misalnya, Putusan MA soal usia) secara profesional dan imparsial. Personel penyelenggara direkrut sesuai jadwal dan dilatih dengan optimal untuk profesionalitas dan berintegritas sebagai penyelenggara pemilu.
“Sosialisasi dan diseminasi informasi pilkada secara masif. Khususnya karena ada pengaturan berbeda antara pemilu dan pilkada agar tidak ada bias pemahaman publik soal penyelenggaraan pilkada,” ujar putri pasangan Dailami Karim (alm.)-Roesmala Dewi tersebut dalam seminar yang juga diikuti mahasiswa Univeresitas Mercubuana Jakarta dan seluruh pengurus PWI Pusat dan Ketua PWI Preovinsi se-Indonesia secara luring dan daring (hibrid) itu.
Titi Anggraini menyebutkan, di tengah kondisi kelelahan politik (political fatigue) yang dirasakan publik saat ini, media bersama kelompok masyarakat sipil memainkan peran krusial dalam mendorong masyarakat mengambil peran mengawal tahapan pilkada dan mewujudkan pilkada serentak 2024 yang damai, kredibel, dan berintegritas. Orientasi pada politik gagasan akan mudah diakselerasi dengan dukungan jangkauan pemberitaan dan diskursus yang didorong oleh pemberitaan media.
“Media perlu perlu terus mengingatkan masyarakat untuk berpartisipasi dan membangun kepedulian pada pelaksanaan pilkada di daerahnya. Mendorong publik mulai mengawal pilkada di daerahnya sebab Pilkada 2024 bukan hanya Pilkada Jakarta,” kunci Perempuan Penggerak Politik Keterwakilan Perempuan Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) Republik Indonesia tahun 2014 itu.
Menjawab pertanyaan peserta seminar, Titi Angraeni mengatakan, dalam pilkada 2024, petahana berpotensi melakukan kecurangan agar tetap tetap berkuasa. Oleh sebab itu, ini merupakan tantangan bagi pemerintahan baru, Prabowo-Gibran karena agenda pertama berskala besar bagi keduanya ketika baru sebulan satu minggu dilantik menggantikan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.
“Pemerintahan baru harus menjaga bagaimana pejabat negara tidak cawe-cawe untuk memenangkan pejabat daerah,” Titi mengingatkan.
Berkaitan dengan masalah bansos, Titi Anggraini mendorong Mendagri dan KPU agar dengan jelas menetapkan prosedur yang terukur. Begitu pun dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang disinggung penanya yang diduga memberikan karpet merah kepada sosok tertentu, dia berpendapat, seharusnya putusan MA tersebut diberlakukan pada pilkada berikutnya, bukan pada tahun 2024 karena proses pencalonan sudah berjalan. Alasannya, pilkada dapat menimbulkan tidak adanya kepastian hukum.
Tak bangun kecerdasan politik
Ketua Dewan Pers Dr.Ninik Rahayu, S.H., M.S. mengatakan, pemilu merupakan salah satu sarana perwujudan nilai-nilai demokrasi, sarana pergantian kekuasaan secara damai dan beradab, sarana kompetisi yang legal bagi warga negara untuk menjadi pelaksana kekuasaan negara. Selain itu, pemilu juga merupakan ruang pendidikan politik rakyat secara langsung, terbuka, bebas, dan massal
“Pemilu merupakan mekanisme bagi rakyat memilih kepala negara dan anggota legislatif dengan bertanggung jawab,” kata Ninik Rahayu yang meraih doktor di Universitas Jember 27 April 2018 tersebut.
Komisioner Komnas Perempuan (2006-2009 & 2010-2014) itu mengatakan, tantangan yang dihadapi, kandidat yang berkualitas belum tentu terpilih apabila tidak memiliki modal yang kuat untuk merebut suara rakyat. Masalah yang dihadapi dalam pilkada adalah terjadinya afirmasi setengah hati, kedamaian dan keadaban pemilu masih terganggu oleh politik uang, namun hal ini sulit dibuktikan.
“Penyelenggaraan pemilu tidak membangun kecerdasan rakyat dalam politik dan terjadinya politisasi identitas,“ kata Anggota Ombudsman RI (2016-2021) ini.
Berkaitan dengan peran pers sebagai penegak demokrasi, ibu tiga anak yang dilahirkan di Lamongan 23 September 1963 ini, mengutip Norris (2000). fungsi pers dalam demokrasi mencakup: (1) sebagai forum warga (civic forum); (2) sebagai pengawas pemerintah atau lembaga lembaga publik (watch-dog) (3) sebagai agen mobilisasi dimana media berfungsi sebagai sarana untuk meningkatkan keterlibatan warga dalam proses-proses politik yang berlangsung.
Tenaga profesional Lemhanas RI sejak 2020 tersebut mengemukakan, pemilu merupakan salah satu cara mewujudkan nilai-nilai demokrasi agar tidak terjebak pada pemberitaan/penyiaran seputar prosedural pemilu, sebaliknya pers perlu mengangkat pemberitaan yang mencerdaskan bangsa dalam berdemokrasi.
“Esensi demokrasi bukan sekadar berbicara tentang pemilu, melainkan juga tentang partisipasi masyarakat, keberagaman, penghormatan hak warga, perlindungan hak kelompok terpinggirkan, penegakan keadilan, penyelesaian perselisihan secara damai dan melembaga,” kunci putri pasangan mendiang Maksoem Buchari-Zaitun mengakhiri paparannya.
Rp 38,8 Triliun
Dr. Suhajar Diantoro M.Si., atas nama Mendagri dalam presentasinya mengatakan, pemilih yang berhak memberikan suarannya pada pilkada serentak 27 November 2024 sebanyak 207.110.768 jiwa (laki-laki: 103.228.748 dan perempuan 103.882.020). Sedangkan biaya yang disiapkan pemerintah mencapai Rp 38, 876 triliun lebih