Ibu Mantang mengaku ia selalu naik angkot pergi dan pulang kerja, karena ia memang tidak bisa membawa kendaraan. Ia tak pernah belajar membawa sepeda motor atau pun mobil. Tapi ia menikmati kesehariannya pergi dan pulang kerja dengan naik angkot.
“Sebenarnya saya pernah punya SIM mobil, tapi saya tidak punya mobil,” ungkap Ibu Mantang sambil tertawa.
Ketika gajinya masih rendah, ia bahkan kadang-kadang kehabisan uang dan terpaksa berutang ke sopir angkot. Para sopir angkot mengerti dan mengatakan tidak usah bayar, karena mereka sudah mengenal Ibu Mantang. Namun, Ibu Mantang tidak mau berutang. Ia tetap membayar pada kesempatan lain kepada sopir angkot yang pernah menggratiskan tumpangannya.
Suatu kali, Ibu Mantang pernah mencari sopir angkot yang menggratiskan tumpangannya. Selama kurang lebih satu bulan lamanya ia mencari, dan ia begitu gembira ketika akhirnya bisa bertemu dan “membayar utangnya.” Pernah juga, ia mencari seorang sopir angkot selama kurang lebih satu pekan, hanya untuk membayar utang tumpangan gratisnya.
“Ketika saya beri uang untuk membayar utang saya, para sopir angkot itu tidak mau menerima karena mereka sudah lupa dan tidak menganggap memberi utang kepada saya. Tetapi saya bersikeras memberinya dengan jumlah beberapa kali lipat dari tarif sekali naik angkot, karena saya merasa sangat terbantu di saat tidak punya uang atau di saat tidak membawa uang, dan sopir angkot ketika itu dengan senang hati memberi saya tumpangan gratis,” ungkap Ibu Mantang.
Kini, di usia senjanya, ia memasuki masa purnabakti dengan kepala tegak. Ibu Mantang adalah simbol dedikasi dan ketulusan, teladan bagi kita semua bahwa nilai pekerjaan tidak selalu diukur dengan materi, tetapi juga dengan hati yang tulus dan niat yang ikhlas. (asnawin aminuddin)