PEDOMAN RAKYAT – MAKASSAR. Memasuki tahun politik 2024, bisa dijadikan momentum untuk mengevaluasi kembali proses demokrasi di Indonesia. Terutama terkait proses pemilihan kepala daerah ( Pilkada ), baik Pilgub, Pilwali atau Pilbud.
Pasalnya, sejak tahun 2015, kita dikejutkan dengan fenomena kotak kosong atau kolom kosong yang kian marak di ajang Pilkada.
Kotak kosong, bukan berarti kotak suaranya kosong, melainkan calon tunggal yang tidak memiliki rival, sehingga di surat suara posisi rival dinyatakan dalam bentuk kotak kosong.
Fenomena kotak kosong atau kolom kosong ini terjadi karena calon tunggal sangat populer atau ” memborong ” tiket parpol sehingga tidak ada kesempatan kandidat lain.
Ajiep Padindang, anggota DPD RI asal Sulsel mengatakan ” Kolom Kosong atau kotak kosong bukan barang haram dan sah sah saja menurut aturan KPU, tapi bukan contoh demokrasi yang baik dan merupakan kemunduran demokrasi.
Padahal di era reformasi diharapkan akan banyak muncul figur figur merakyat dari partai politik yang bisa memimpin daerah lebih baik.
Hal ini dikatakan Ajiep Padindang ketika menggelar Dialog bertemakan ” Ngobrol Politik 2024 ” di Cafe Kanre Jawa, Rabu 31/07/2024.
Kotak kosong atau kolom kosong muncul pertama kali tahun 2015. Sejak itu, secara konstitusional Mahkamah Konstitusi mengatur calon tunggal melawan kotak kosong di kontestasi Pilkada.
Dalam perjalanannya fenomena kotak kosong terus meningkat. Tahun 2015 ada tiga daerah, Tahun 2017 ada sembilan daerah, Tahun 2018 meningkat menjadi 16 daerah dan di tahun 2020 ada 25 kota/kabupaten yang kandidatnya rata rata didominasi dari calon petahana yang memiliki kekuatan finansial.