Setelah menjadi pegawai negeri sipil di Kodam XIV Hasanuddin tahun 1970 Machmoed memutuskan mengundurkan diri sebagai pegawai Penerangan Kodam itu. Padahal, sejak tahun 1967, dia sudah menjadi wartawan Surat Kabar Mingguan Amanat.
“Saya mengundurkan diri sebagai pegawai negeri karena diajak Alex Wacanno (wartawan Pedoman Rakyat) yang saat itu menjabat Penanggung Jawab Majalah Akselerasi,’’ kata Machmoed.
Dia pun bergabung dengan majalah tersebut. Pikirnya, inilah saatnya memasuki dunia yang telah lama dicita-citakannya. Tugas pertama yang dia terima dari Redaktur Pelaksana Majalah Akselerasi Ronald Ngantung (kini Wakil Pemred Harian Tribun Timur) adalah mewawancarai sejumlah tokoh dan pejabat tinggi sipil dan ABRI (TNI sekarang) di daerah ini. Jelas, para tokoh yang super sibuk itu termasuk figur yang sangat sulit ditemui. Tapi Machmoed diberi waktu lima hari menuntaskan tugas tersebut. Padahal, fasilitas telepon waktu itu termasuk barang langka. Mau wawancara jarak jauh tentu saja mustahil. Kendala lain, pejabat tersebut belum mengenal wartawan yang meneleponnya. Sulitnya lagi, pejabat sering menolak wawancara melalui telepon. Harus tatap muka.
Sekretaris HMI Fakultas Ilmu Eksakta IKIP Makassar ini memiliki kesan mendalam saat di Majalah Akselerasi yang hingga kini dia pimpin. Waktu itu dia baru tiga bulan menjadi wartawan. Pada suatu hari Pemimpin Umum Majalah Akselerasi Nurdin Djaphop (alm.) dan Pemimpin Redaksi Nurdin Mangkana, S.H., tiba-tiba dengan setengah memaksa minta Machmoed mau menerima jabatan yang menurut ukurannya belum waktunya dia pangku. Bagaimana tidak, dia harus menerima jabatan Pemimpin Redaksi, Penanggung Jawab, dan Redaktur Pelaksana sekaligus yang ditinggalkan Nurdin Mangkana, Alex Wacanno, dan Ronald Ngantung yang harus fulltime di Harian Pedoman Rakyat. Masalahnya, Manuhua – Pemimpin Umum PR — tidak ingin ada wartawannya bekerja rangkap di media lain.