Ternyata sepeninggal rombongan yang bergerak lebih dahulu, terjadi musibah. Sebuah sampan yang dikemudikan Abdullah dan ditumpangi ustaz yang juga staf Kantor Departemen Agama Mamuju dan seorang stafnya yang nonmuslim gagal melewati tikungan to matowa. Sampannya patah dua dan pecah. Dua orang penumpangnya, tepat bertengger di atas batu yang disebut ‘batu gergaji’. Keduanya tidak bisa berenang. Berbagai usaha dilakukan untuk menyelamatkan keduanya agar dapat ke pinggir. Sementara air sungai kian kencang, karena hujan turun di hulu.
Sekitar satu jam, tragedi itu menegangkan. Upaya melempar tali gagal disergap keduanya. Pak Atik, yang mengisahkan musibah itu kepada para wartawan yang bergerak lebih dahulu, bertekad, jika keduanya tidak juga bisa ditarik ke pinggir sungai menjelang magrib, maka dia yang beraksi. Maksudnya, Pak Atik akan melompat ke batu itu untuk ‘menangkap’ keduanya agar dapat ditarik ke pinggir sungai. Jika tidak, evakuasi penyelamatan kian sulit karena hari kian gelap.
Pak Atik adalah tentara berpangkat letnan kolonel. Kesatuannya, Resiman Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), pasukan elite Indonesia yang terkenal reputasinya ketika memberantas PKI yang melaksanakan kudeta tahun 1965. Waktu itu disebut Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), kemudian berganti nama lagi menjadi Korps Pasukan Khusus (Kopassus).
Ternyata, upaya melempar tali berbuah. Keduanya berhasil ditarik ke pinggir. Rombongan pun melanjutkan perjalanan. Sementara rombongan terdahulu, terus melaju. Rombongan Machmoed dkk gagal mencapai Kalumpang, karena keburu hari gelap. Pak Djamaluddin Lolo memutuskan agar pengemudi katinting berjalan kosong hingga ke Kalumpang, sementara penumpang lainnya singgah bermalam di satu-satunya rumah penduduk di pinggir sungai. Pak Atik kabarnya menginap di kampung Bonehau.