Machmoed dkk terharu juga menginjakkan kaki di tanah perawan tersebut. Pada ujung acara, Machmoed sempat membacakan sebuah puisi yang dia gubah ketika tiba di Kalumpang. Dia sendiri lupa judulnya. Tapi, intinya menggambarkan kepioneran Pak Atik Sutedja dan teman-teman wartawan, potensi daerah yang berhasil dijejaki dan jarang dikunjungi pejabat tersebut.
Ketika tiba kembali di kota Mamuju, Pak Atik Sutedja berpesan pendek. Musibah di to matowa itu tidak usah ditulis, meski para wartawan menyaksikannya dengan mata kepala sendiri.
‘’Kalau wartawan yang lihat sendiri dan menulis, siapa lagi yang mau datang ke Tanah Kalumpang yang terpencil itu,’’ pesan Pak Atik Sutedja.
Saya tidak menulis musibah itu dalam laporan perjalanannya. Tetapi dia sunglap menjadi sebuah cerita pendek yang dimuat pada rubrik cerita pendek. Dia pikir, orang yang membaca akan memahaminya sebagai sebuah cerita fiksi, bukan fakta. Tapi ternyata, Pak Atik Sutedja sempat membacanya.
‘’Saya sudah baca kisah ‘Tomatowa, tetapi dalam kolom cerita pendek,’’ kata Pak Atik ketika suatu saat bertemu saya.
Setelah ditinggalkan Pak Atik Kalumpang tak lagi terisolasi. Sudah ada jalan darat ke sana. Juga, sudah ada perusahaan tambang yang mengeksplorasi potensi emas di Kalumpang.
Suatu hari Pak Atik bertemu saya di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng, Jakarta. Dia mau ke Makassar juga.
‘’Saya selalu bawa tulisan Anda yang berjudul ‘Emas Kalumpang, Tertua di Asia Tenggara’,’’ kata Atik Sutedja sambil tersenyum dan memperlihatkan satu map yang berisi tulisan saya itu.