Majalah Akselerasi yang sejak awal terbit sebulan sekali, sudah menjadi bagian terpenting dari perjalanan hidupnya. Itulah sebabnya dia memohon SIUPP baru untuk majalah ini pada Menteri Penerangan RI sejak tahun 1999. Di majalah itulah, hingga kini lelaki yang pernah studi banding ke Malaysia ini menjabat Pemimpin Redaksi.
Dengan jiwa kewartawanan yang tersisa, setelah berlangsung tujuh tahun majalah yang kini dia pimpin itu terbit lagi.
‘’Alhamdulillah baru empat kali majalah ini tidak terbit. Dikelola dengan uang pas-pasan,’’ imbuh pria yang memiliki warna favorit kuning muda ini.
Namun sangat disayangkan, sambung pria yang memilih lagu favorit Bengawan Solo dan Anak Kamase (lagu Makassar) ini , setelah era reformasi kondisi dunia kewartawanan menjadi sangat memprihatinkan. Citra kewartawanan terjun bebas pada lembah yang sangat menyedihkan. Dunia kewartawanan yang semula sangat dihargai dan dihormati itu kini menjadi bagaikan sampah. Orang-orang akhirnya mulai menempatkan wartawan sebagai pemulung lantaran banyak oknum wartawan pasca era reformasi yang menyalahgunakan profesinya.
Persaingan antara yang professional dengan yang tidak profesional terlalu keras, ditambah semakin sulitnya mencari tenaga wartawan berkualitas yang mau bergabung dengan penerbitan kecil seperti yang Machmoed pimpin saat ini. Sebagai orang yang sejak kecil bercita-cita menjadi wartawan dan dengan ikhlas menjalankan kegiatan itu lebih dari 34 tahun, wartawan yang senang ubi goreng dan ‘sarabba’ ini, sangat sedih melihat dunia kewartawanan saat ini yang selalu dicemohkan di mata masyarakat.
‘’Lalu akankah dunia kewartawanan tercinta ini bisa kembali menemukan jatidirinya, punya citra, dan dihargai di tengah perjalanan dunia yang sedang mengglobalisasi?,’’ pria yang senang melakukan perjalanan ini bertanya mengunci komentarnya. Dan, fisik senior yang satu tidak akan pernah kita jumpai lagi. Selamat jalan…..Senior! (Habis).