Hal ini dapat kita lihat dalam Draft RUU Polri seperti Tambahan Kewenangan Penghentian Penyidikan dan/atau Penyelidikan (pasal 16 ayat (1) huruf j) sedangkan dalam KUHAP tidak dikenal penghentian Penyelidikan.
Terus masalah tambahan kewenangan melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri tanpa disertai penjelasan yang ketat (pasal 16 ayat (1) huruf q) seharusnya upaya upaya paksa ini dibahas dalam KUHAP bukan dalam RUU Polri dan dengan perintah Pengadilan.
“Tugas Polri dalam pembinaan hukum nasional (Pasal 14 angka 1 huruf e) hal ini bertentangan dengan kewenangan yang melekat pada Badan Pembinaan Hukum Nasional KemenkumHAM,” ucapnya.
Dr.Fachrizal Afandi menambahkan, dampak RUU Polri terhadap Sistem Peradilan Pidana diantaranya ; Pengangkatan penyidik PNS dan Khusus (Penyidik KPK, Jaksa) harus mendapatkan rekomendasi dari POLRI.
Penyidik PNS dan khusus (Penyidik KPK, Jaksa) harus mendapatkan surat pengantar dari penyidik Polri sebelum mengirimkan berkas ke Penuntut Umum. Potensi ketidak paduan proses penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan karena aturan di buat secara sektoral.
Upaya paksa dan penghentian penyelidikan/penyidikan tanpa check and balance serta kontrol pengadilan menjadikan masyarakat terdampak sulit mendapatkan keadilan.
Berdasarkan pada point-point permasalahan diatas Dr.Fachrizal Afandi merekomendasikan untuk menunda Revisi UU Polri yang dilakukan terburu buru ini, untuk itu perlu dilakukan pembahasan RUU Polri secara cermat Pasca pengesahan RKUHAP dan Cabut pengaturan terkait Hukum Acara Pidana dalam RUU Polri.