Oleh : Adekamwa, Humas Politeknik STIA LAN Makassar
Di penghujung bulan Juli 2024, penulis bersama seorang sahabat bertemu saat menanti sajian kopi di sebuah warkop seputaran Jalan Muhammad Tahir, kota Makassar. Kami memesan kopi susu beserta hidangan kue panada dan songkolo’ untuk mengisi perut pagi itu. Kami berbicara tentang berbagai topik, termasuk politik yang sedang memanas menjelang pemilihan Presiden AS bulan November 2024 nanti. Sahabat saya ini sangat tertarik dengan pencalonan Kamala Harris.
Kamala Harris, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat, telah mengumumkan pencalonannya untuk pemilihan presiden tahun 2024. Dia seorang politisi Demokrat Amerika Serikat, memiliki latar belakang yang kaya dengan pengalaman di bidang hukum dan pemerintahan serta ia juga merupakan simbol keberagaman di Amerika Serikat. Kamala Harris adalah wanita kulit hitam pertama dan wanita Asia Selatan pertama yang menjadi calon presiden dari sebuah partai politik besar di AS.
Jika dia mengalahkan Donald Trump, calon dari Partai Republik AS, pada bulan November nanti, dia akan menjadi presiden wanita pertama di Amerika Serikat.
Sejak awal perjalanan kariernya di dalam sistem peradilan pidana, Kamala Harris telah menyatakan bahwa dia melihat dirinya sebagai seorang progresif yang bekerja dalam sistem yang ingin ia ubah yaitu “di meja tempat keputusan dibuat,” katanya kepada New York Times Magazine pada tahun 2016.
Ia memulai kariernya di kantor jaksa pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, kemudian menjadi jaksa distrik San Francisco, posisi tertinggi di kota itu, pada tahun 2004. Pada tahun 2011, ia menjadi Jaksa Agung California, pejabat penegak hukum tertinggi di negara bagian tersebut. Ia memegang posisi itu hingga tahun 2017, ketika ia menjadi Senator AS untuk California.
Pada tahun 2004, sebagai jaksa wilayah San Francisco, Kamala Harris menolak untuk menyetujui permohonan hukuman mati terhadap seorang pria yang dinyatakan bersalah menembak petugas polisi Isaac Espinoza. Ia menghadapi oposisi dari sesama Demokrat; Senator Dianne Feinstein (D-CA) menyerukan hukuman mati di pemakaman petugas tersebut. Namun Kamala Harris tidak tergoyahkan, sebuah tindakan prinsip yang mengorbankan sekutu politik pentingnya, karena ia hampir tidak mendapat dukungan dari kelompok polisi selama pencalonan pertamanya sebagai jaksa agung pada tahun 2010.
Kamala Harris juga mendorong reformasi sistemik yang lebih luas. Programnya yang paling sukses sebagai jaksa wilayah, “Back on Track,” memungkinkan pelanggar narkoba pemula, termasuk pengedar narkoba, untuk mendapatkan diploma sekolah menengah dan pekerjaan daripada hanya menjalani hukuman penjara.
Adams, mantan juru bicara Harris, mencatat bahwa program ini dimulai pada tahun 2005, ketika kebanyakan jaksa menggunakan pendekatan ‘keras terhadap kejahatan’.
Kondisi saat itu jauh dari terbuka untuk kebijakan peradilan pidana progresif. Seorang kandidat presiden tahun 2004, John Kerry, menjalankan kampanye, sebagian besar, untuk merekrut lebih banyak polisi, mengadopsi pendekatan “nol toleransi” terhadap geng, dan “menindak tegas perdagangan narkoba.” Kejahatan bukanlah isu utama dalam pemilihan presiden 2004, tetapi platform Kerry adalah warisan dari tahun 1980-an dan ’90-an, ketika Partai Republik dan Demokrat, termasuk Presiden Bill Clinton, bersaing untuk menunjukkan siapa yang lebih “keras terhadap kejahatan.”
Sebuah Karya Tulis Terbaik
Smart on Crime: A Career Prosecutor’s Plan to Make Us Safer adalah karya luar biasa dari Kamala Harris, sebuah buku yang menawarkan lebih dari sekadar teori hukum. Dengan pengalaman mendalam sebagai jaksa penuntut, Kamala menyajikan pandangan cerdas dan penuh empati tentang menciptakan masyarakat yang lebih aman.
Setiap halaman buku ini berdenyut dengan kehidupan, dipenuhi kisah-kisah yang menyentuh tentang perjuangan dan keberanian. Kamala Harris tidak hanya membahas penegakan hukum, tetapi juga mengajak kita untuk melihat keadilan dengan hati yang peka, menekankan pentingnya pencegahan kejahatan melalui pendekatan yang manusiawi.
Buku ini bagaikan percakapan dengan sahabat yang penuh kasih, yang menginginkan dunia yang lebih baik dan aman untuk kita semua. Kamala Harris mengajak kita membayangkan masa depan di mana keadilan dan keamanan berpadu harmonis, di mana setiap individu dihargai dan dilindungi.
Melalui tulisan yang penuh rasa, Kamala Harris menggambarkan bagaimana sistem peradilan yang adil bisa menjadi jembatan menuju kehidupan yang lebih baik. Setiap kata seperti doa, menyala di tengah gelapnya keputusasaan, menerangi harapan yang muncul dari tempat-tempat tak terduga. Dia menampilkan kisah-kisah individu yang terluka, mampu bangkit dan menemukan kembali harapan dalam sistem yang lebih berbelas kasih. Dalam karya ini, kita menemukan dorongan untuk tidak hanya bermimpi, tetapi juga bekerja keras mencapainya dengan penuh cinta dan ketulusan.
Dalam buku Smart on Crime, Kamala Harris, merupakan anak imigran dari orang tua yang berasal dari Jamaika dan India, menghadirkan citra sebagai jaksa yang keras namun berempati. Buku ini, meski banyak menekankan sistem yang mendukung korban dan anak-anak yang trauma, tetap menunjukkan kecenderungan pro-penegakan hukum yang mencerminkan zaman di mana diskusi tentang keadilan kriminal belum fokus pada pengurangan penangkapan atau diagnosis ketidakadilan rasial dalam sistem, melainkan pada pencegahan kejahatan.
Kamala Harris menegaskan bahwa hampir semua warga yang taat hukum merasa lebih aman saat melihat polisi berpatroli, baik di daerah miskin maupun kaya. Namun, pemikirannya yang netral ras dalam Smart on Crime berseberangan dengan era pasca-Ferguson dan Black Lives Matter, di mana reformasi keadilan kriminal yang sadar rasial menjadi pilar utama Partai Demokrat. Kamala Harris mengemukakan pandangan yang kontroversial di antaranya, orang tua dengan anak yang sering bolos harus diadili, prostitusi harus tetap dikriminalisasi, dan kehadiran polisi di sekolah-sekolah tertentu. Pandangan ini bertentangan dengan keyakinan progresif bahwa kehadiran penegakan hukum yang berat dapat merugikan komunitas rentan.