Oleh: Asnawin Aminuddin
Narasi-narasi kurang sedap bermunculan pada Pemilu 2024. Ada narasi “Pemilu curang,” “Pilpres curang,” “Pemilu penuh kecurangan,” “Tolak Pemilu curang.” Ada narasi “Pemilu 2024 Terburuk Sepanjang Sejarah”. Ada juga narasi “Kami tidak ingin dipimpin presiden dari hasil pemilu curang.”
Narasi-narasi itu tentu saja membuat kening kita berkerut. Kita sedih. Kita prihatin. Mengapa muncul narasi-narasi kurang sedap tentang Pemilu 2024 dan Pilpres 2024?
Narasi-narasi itu bahkan sudah muncul sebelum Pemilu, 14 Maret 2024, setelah melihat adanya indikasi kecurangan, adanya cawecawe Presiden Jokowi dalam Pilpres 2024.
Narasi itu muncul setelah dipaksakannya Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres dari Prabowo. Usia Gibran belum genap 40 tahun, tapi Mahkamah Konstitusi kemudian mengubah aturan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan, calon presiden dan calon wakil presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh).
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman saat membacakan putusan MK mengatakan; “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, ’berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’.
Maka muncullah narasi kurang sedap yang menyatakan, “Anak Kecil Dipaksa jadi Cawapres, Bahaya untuk Bangsa”, dan banyak lagi lainnya.
Sejatinya kita tidak ingin muncul narasi kurang sedap tentang Pemilu, apalagi tentang Pilpres. Kita menginginkan narasi yang enak didengar. Sayangnya, keinginan itu hanya jadi kerinduan. Entah kapan narasi yang enak didengar itu muncul kembali.
Narasi kurang sedap mulai bermunculan ketika Presiden Jokowi diusulkan bisa maju sebagai calon presiden untuk periode ketiga berturut-turut. Tetapi narasi ini gagal karena terkendala aturan.
Pada dasarnya –dalam sistem politik di Indonesia– Presiden hanya diperbolehkan menjabat untuk dua periode berturut-turut, sesuai dengan amendemen konstitusi yang dilakukan pada 2002 setelah era pemerintahan Soeharto yang panjang.
Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk mencegah konsolidasi kekuasaan yang berlebihan. Jadi, jika ada usulan atau upaya untuk memungkinkan seorang presiden kembali untuk periode ketiga berturut-turut, itu kemungkinan akan bertentangan dengan konstitusi dan aturan yang berlaku.
Oleh karenanya, jika ada usulan semacam itu, pasti akan ada kendala atau hambatan hukum yang harus diatasi terlebih dahulu, sebelum hal tersebut bisa direalisasikan.
Gagal dengan usulan presiden bisa dipilih tiga periode berturut-turut, lalu dimunculkanlah usulan Presidan Jokowi diperpanjang masa jabatannya sebagai presiden, dengan berbagai alasan yang seolaholah masuk akal. Tetapi usulan itu ditolak karena bertentangan dengan aturan.
Usulan untuk memperpanjang masa jabatan seorang presiden di Indonesia tentu akan menuai banyak perdebatan dan pertentangan. Ini karena hal tersebut akan bertentangan dengan konstitusi yang mengatur masa jabatan presiden hanya untuk dua periode berturutturut. Melanggar aturan semacam itu bisa membuka pintu untuk krisis konstitusional dan merusak stabilitas politik negara.