Sejatinya kita tidak ingin muncul narasi kurang sedap tentang Pemilu, apalagi tentang Pilpres. Kita menginginkan narasi yang enak didengar. Sayangnya, keinginan itu hanya jadi kerinduan. Entah kapan narasi yang enak didengar itu muncul kembali.
Narasi kurang sedap mulai bermunculan ketika Presiden Jokowi diusulkan bisa maju sebagai calon presiden untuk periode ketiga berturut-turut. Tetapi narasi ini gagal karena terkendala aturan.
Pada dasarnya –dalam sistem politik di Indonesia– Presiden hanya diperbolehkan menjabat untuk dua periode berturut-turut, sesuai dengan amendemen konstitusi yang dilakukan pada 2002 setelah era pemerintahan Soeharto yang panjang.
Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk mencegah konsolidasi kekuasaan yang berlebihan. Jadi, jika ada usulan atau upaya untuk memungkinkan seorang presiden kembali untuk periode ketiga berturut-turut, itu kemungkinan akan bertentangan dengan konstitusi dan aturan yang berlaku.
Oleh karenanya, jika ada usulan semacam itu, pasti akan ada kendala atau hambatan hukum yang harus diatasi terlebih dahulu, sebelum hal tersebut bisa direalisasikan.
Gagal dengan usulan presiden bisa dipilih tiga periode berturut-turut, lalu dimunculkanlah usulan Presidan Jokowi diperpanjang masa jabatannya sebagai presiden, dengan berbagai alasan yang seolaholah masuk akal. Tetapi usulan itu ditolak karena bertentangan dengan aturan.
Usulan untuk memperpanjang masa jabatan seorang presiden di Indonesia tentu akan menuai banyak perdebatan dan pertentangan. Ini karena hal tersebut akan bertentangan dengan konstitusi yang mengatur masa jabatan presiden hanya untuk dua periode berturutturut. Melanggar aturan semacam itu bisa membuka pintu untuk krisis konstitusional dan merusak stabilitas politik negara.