Jika ada usulan semacam itu, tentu akan muncul penolakan dari berbagai pihak, baik dari masyarakat umum, partai politik, maupun lembaga-lembaga terkait seperti Mahkamah Konstitusi. Dalam konteks tersebut, penolakan atas usulan tersebut akan didasarkan pada konsistensi terhadap aturan dan prinsip-prinsip demokrasi.
Paman Usman
Gagal dengan usulan perpanjangan masa jabatan presiden, Presiden Jokowi kemudian memaksakan anaknya, Gibran jadi cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto. Padahal usia Gibran belum genap 40 tahun, sebagai batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.
Presiden Jokowi memang tidak melakukannya secara langsung. Pemaksaan itu dilakukan dengan cara diajukannya gugatan oleh mahasiswa Universitas Surakarta, Almas Tsaqibbirru. Kemudian Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan tersebut yang akhirnya KPU meloloskan Gibran jadi Cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Dampak dari putusan MK tersebut, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kemudian memberhentikan Anwar Usman selaku Ketua MK, karena melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama. Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.
Dalam proses gugatan hingga putusan MK yang membolehkan Gibran maju sebagai cawapres, muncullah banyak narasi kurang sedap, karena Anwar Usman adalah ipar dari Jokowi dan secara otomatis adalah paman dari Gibran Rakabuming Raka. Narasi kurang sedap itu antara lain “Paman Usman” dan “Di MK ada Paman Usman.”
Menjelang pemilu, muncul lagi kontroversi dari Presiden Jokowi. Ia menyatakan terdapat aturan yang mengatur seorang presiden boleh memihak kepada kandidat calon presiden dan wakil presiden dalam pilpres. Jokowi menambahkan bahwa seorang presiden juga diperbolehkan berkampanye, yang penting tidak menggunakan fasilitas negara.