Tetapi ketika membaca dua bait terakhir pada puisi tersebut yang menyatakan “Mei Hwa di Taipeh dan Farouk di Kairo” yang artinya kedua orang tersebut berada di negara yang berbeda, tetapi dengan waktu yang sama, puisi ini menggambarkan rutinitas Mei Hwa di Taipei dan Farouk di Kairo. Meskipun bahasa yang digunakan pada bait-bait awal terkesan intim dan vulgar, puisi ini sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa kesetaraan dan persamaan nasib antarindividu itu sama walaupun baerasal dari negara yang berbeda.
Pemilihan kota Taipeh dan Kairo mewakili dua benua yang terlibat dalam konferensi Asia-Afrika, Taipeh di benua Asia dan Kairo di Afrika.
Dari pendekatan sederhana itu, Remy Sylado yang mengekspresikan bahwa meskipun kita berbeda, pada inti kehidupan kita tetap sama. Pesan itu sangat relevan dengan hasil Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang berlangsung di Bandung, yaitu menghormati hak-hak manusia, menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara, mengakui persamaan derajat semua ras dan negara, dan lain-lain.
Mahasiswa lainnya, Kurni Suci Ramadhani, misalnya, menulis, secara metaforis, puisi ini tidak hanya menggambarkan tindakan individu, tetapi juga dapat ditafsirkan sebagai simbolisme dari hubungan antara Asia dan Afrika. Remy Sylado tampaknya ingin menunjukkan bahwa meskipun ada kesamaan dalam pengalaman atau tindakan (yang diwakili oleh kesamaan urutan tindakan antara kedua tokoh), mereka tetap terpisah secara fisik dan emosional oleh jarak geografis dan budaya yang jauh. Ini bisa dianggap sebagai metafora dari situasi hubungan antarnegara di Asia dan Afrika, terutama dalam konteks sejarah politik sebagaimana dituangkan dalam Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, yang bertujuan untuk memperkuat persatuan dan kerja sama antarbangsa, meskipun masih ada perbedaan besar yang harus dihadapi.
Komentar Kurni Suci Ramadhani ini menghubungkan relasi historis antara perwakilan dua negara dari dua benua yang berbeda. Kontennya, meskipun terkesan sedikit ‘sensual’, namun menggambarkan kesamaan ‘budaya’ yang tergambarkan melalui sejumlah frasa dan kalimat di dalam puisi tersebut.
Lain pula komentar Salwa Meuthia. Dia menyimpulkan, puisi karya Remy Sylado ini merupakan karya yang kaya akan makna dan interpretasi. Dia menggunakan perbandingan dan metafora sederhana untuk menyampaikan pesan yang dalam tentang hubungan antarbangsa dan kemanusiaan universal. Dia mengingatkan kita bahwa meskipun manusia pada dasarnya sama, perbedaan budaya dan jarak geografis masih menjadi tantangan dalam membangun solidaritas yang sejati.
Marsya Amel Ramadhani berkomentar sesuai pengertian majas metafora terlihat bahwa hubungannya dengan puisi ini memilikik perbandingan. Dalam puisi tergambar jelas seorang perempuan bernama Mei Hwa dan seorang lelaki bernama Farouk yang melakukan hal yang sama pada waktu yang bersamaan.
Terdapat hal kontras yang kuat antara tindakan-tindakan yang dilakukan keduanya dengan judul puisi, “Kesetiakawanan Asia-Afrika.” Judul tersebut mengarahkan pembaca mengharapkan cerita tentang persatuan dan kerja sama antarnegara, namun realitasnya adalah dua orang asing yang hidup dalam dunia mereka sendiri. Dapat disimpulkan, hubungan antara keduanya terletak pada judul dan isi dari puisi tersebut.
Nur Amelia menulis, pertama kali membaca puisi karya Remy Sylado ini, kesan yang saya dapat yaitu simpel dan realistis. Seperti kita sedang menonton adegan yang sangat intim dan ditulis dengan cara yang blak-blakan. Tetapi, begitu sampai di bagian akhir, tiba-tiba saya sadar kalau ternyata Mei Hwa ada di Taipei dan Farouk di Kairo, yang artinya mereka sebenarnya dua orang yang sangat jauh dan terpisah ribuan kilometer.
“Perasaan saya awalnya campur aduk. Awalnya agak bingung, ada juga kaget karena penggambaran adegannya diulang-ulang dan datar. Tetapi, pas sampai “ending”-nya, ada ‘twist’ (kejutan) yang membuat saya sebagai pembaca berpikir lebih dalam. Mungkin puisi ini tentang hubungan jarak jauh, atau bisa jadi simbol kesetiakawanan antara Asia dan Afrika yang, meskipun berbeda tempat dan budaya, tetap saling terhubung oleh perasaan kemanusiaan yang sama,” tulis Nur Amalia.
Satu catatan kritik di dalam puisi ini, Remy Sylado berusaha menggiring persepsi pembaca larut dalam keseragaman, selain tindakan, juga dalam hal waktu. Pemilihan waktu yang seragam itu untuk menyamakan semua apa yang dilakukan kedua sosok di dalam puisi tersebut.
/Mei Hwa masuk kamar jam 24.00/Farouk masuk kamar jam 24.00/.
Perbedaan waktu ini sebenarnya baru terungkap setelah kita membaca dua baris terakhir. Di sinilah kelihaian penyair memanfaatan ‘penyimpangan’ untuk mencapai keseragaman makna.
Dari awal sebenarnya kita dapat mengidentifikasi arah puisi ini dengan melihat nama keduanya. Mei Hwa merupakan sapaan terhadap warga Taiwan dan Tiongkok, sementara Farouk merupakan nama yang banyak dikenal di dunia Arab.
Begitulah cara Remy Sylado “mengamuk-amuk” emosi pembaca melalui puisinya yang satu ini. Awal-awalnya kita dibawa ke dunia yang sangat ‘pornografis’, namun di pengujung puisi, pembaca dibuat terkesima. Oh… (*)