Oleh : Adekamwa, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Unhas 23’
Ketika mendengar nama Qahar Mudzakkar, mungkin yang terlintas di benak banyak orang adalah seorang pemberontak yang melawan pemerintahan Indonesia.
Namun, apakah label “pemberontak” sepenuhnya adil bagi sosok ini? Apakah tindakan dan pemikirannya hanya sekadar bentuk perlawanan, atau justru merupakan refleksi dari sebuah visi besar tentang keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia?
Bagi saya, Qahar Mudzakkar adalah sosok yang lebih dari sekadar pemberontak. Dia adalah seorang pemimpin yang memiliki cita-cita besar dan nilai-nilai yang diperjuangkan hingga akhir hayatnya, meski sering disalahpahami.
Tindakan dan keyakinan Qahar Mudzakkar seharusnya dipandang sebagai bentuk heroisme yang berakar pada visinya akan masyarakat yang adil, bukan sekadar aksi perlawanan.
Bagi Qahar, mewujudkan masyarakat yang mengutamakan keadilan, kesetaraan, dan nilai-nilai Islam adalah panggilan yang lebih besar daripada sekadar mengikuti arus politik atau berserah pada kebijakan yang tidak adil.
Dengan dasar pemikiran ini, ia berani mengambil jalan yang penuh risiko demi menawarkan pandangan alternatif untuk masa depan bangsa yang ia cintai.
Menggabungkan Nilai Demokrasi Dan Keadilan
Qahar Mudzakkar lahir pada 24 Maret 1921 di Lanipa, Ponrang Selatan, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Namanya sendiri La Domeng, tapi kemudian lebih dikenal dengan Qahar Mudzakkar — nama guru kesayangannya di Muallimin Muhammadiyah Solo, Jawa Tengah. Sosok pemuda inilah yang kemudian mengukir sejarah pemberontakan militer di daerah Sulawesi Selatan.
Dalam buku Abdul Qahhar Mudzakar: Dari Patriot Hingga Pemberontak (1992) Anhar Gonggong menerangkan, pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Qahar Mudzakkar terjadi dalam dua periode, yaitu 1951-1953 dan 1953-1965.