Wartawan sekarang sudah dihadapkan kepada tidak saja sebagai manusia profesional dalam menyikapi zamannya di era persaingan, tetapi juga harus memodali diri dengan pengetahuan yang komprehensif. Dia harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sesuai dengan bidangnya. Sebab, tuntutan terhadap seorang wartawan tidak saja sebagai pelapor, tetapi juga mampu memberi proses pembelajaran kepada publiknya. Untuk melaksanakan peran itu harus memiliki pengetahuan yang mumpuni.
Di tengah kebingungan menyikapi demokrasi dan otonomi daerah, wartawan mestinya harus berperan aktif dalam memberi pencerahan kepada masyarakat. Memberi pencerdasan dengan menekankan pada aspek kearifan dan kemandirian lokal.
Tampaknya, anak bangsa ini semakin tercerabut dari akar budayanya sendiri. Dalam realitas sosial muncul ketidakberdayaan kita menghadapi menguatnya arus pengaruh budaya baru yang mengarah kepada diferensiasi di tengah masyarakat. Dampak yang sangat krusial adalah rentannya masyarakat terpicu oleh tindak kekerasan. Di mana-mana (dari tayangan TV) kita menyaksikan tindakan kekerasan. Konflik horisontal terjadi hampir setiap waktu. Konflik ini tidak saja merebak di kampung-kampung, tetapi telah merembet ke gedung-gedung parlemen yang kian memperpuruk kehidupan demokrasi di republik ini.
Akhirnya, untuk menyikapi ’ketololan’ memperlakukan demokrasi dan kebebasan itu, kita selalu mengatakan sedang dalam proses belajar. Sampai kapan? (*).