Oleh M.Dahlan Abubakar
Menjelang pertandingan ke-7 dan 8 Grup C Piala Dunia Zona Asia, tiba-tiba saja masyarakat pecinta bola di Indonesia dikagetkan dengan pemberhentian kontrak kerja sama antara Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) dengan pelatih asal Korea Selatan Shin Tae-yong (STY) yang telah berlangsung sejak Januari 2000. Pemecatan — istilah kasarnya — STY ditanggapi beragam oleh pengamat sepak bola Indonesia. Yang menolak pemecatan itu mengatakan, waktunya tidak tepat karena masih ada empat pertandingan yang menentukan melawan Australia 20 Maret 2025 di Australia dan 25 Maret menjamu Bahrain di Indonesia serta menjamu China dan melawan Jepang Juni 2025. Yang menyetujui pun punya alasan lain. STY dianggap tidak berhasil mengantar tim nasional Indonesia ke babak semifinal Piala AFF, sehingga timnas perlu menemukan pelatih baru.
Dari sisi yang menolak pemecatan itu menilai, penggantian pelatih baru di tengah posisi Indonesia sangat diharapkan meraih poin penuh dalam laga sisa dapat menimbulkan kontraproduktif. Empat tim Grup C sama-sama mengantongi poin 6, Indonesia, Arab Saudi, Bahrain, dan China. Sementara Jepang di posisi puncak dengan 16 poin dan Australia di urutan kedua dengan 7 poin.
Meskipun STY gagal membawa Indonesia pada Piala AFF, tetapi target utamanya bukan turnamen ini, melainkan memperjuangkan Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026. Lagipula, pada pertandingan Piala AFF, Indonesia tidak turun dengan skuat tim Piala Dunia-nya, karena mungkin saja STY menganggap turnamen antarnegara ASEAN ini hanyalah program antara sebelum laga sisa kualifikasi Grup C Piala Dunia.
Dengan tim nasional Indonesia yang diraciknya saat ini, STY jelas telah berhasil membawa perubahan yang sangat mendasar terhadap para pemain Indonesia khususnya. Peringkat FIFA tim Indonesia juga membaik, naik ke peringkat ke-125, sebelum STY berada pada peringkat ke-174. Kenaikan peringkat Indonesia ini dianggap memecahkan rekor.
STY juga berhasil mendongkrak fisik dan mentalitas para pemain, meskipun masih kerap kita temukan di lapangan egoisme pemain asli Indonesia. Misalnya saja, memaksa mencetak gol sendiri pada situasi yang tidak menguntungkan, sementara di posisi lain ada temannya yang mungkin peluangnya lebih terbuka. Terlalu lama menggoreng bola, sementara pemain lawan jarang menggoreng bola jika tidak perlu.
Soal penggemblengan fisik, STY yang asal Korea Selatan, jelas sangat maklum dengan stamina dan ‘endurance’ (daya tahan), saya pernah mewawancarai Ady Setiawan, pemain asal Parado Bima yang sempat dibawa STY ke luar negeri. Ketika hari pertama berlatih, dia menangis karena begitu beratnya mengikuti latihan fisik diterapkan STY. Masalah fisik ini merupakan kelemahan utama pemain Indonesia, di samping persoalan mental.
Wujud kelemahan daya tahan tersebut antara lain pemain Indonesia hanya mampu bermain 1×45 menit dalam posisi bugar. Setelah babak kedua, pada awalnya masih bisa bergerak kencang, namun pada menit-menit terakhir sudah mulai kelelahan. Jalan satu-satunya adalah ,mengambil pemain lawan, sehingga kerap melahirkan pelanggaran pada masa ‘injury time’. Kalau bukan terkena penalti, biasanya pemain lawan akan terus menyerang, sehingga bisa menyamakan kedudukan. Lihat saja ketika melawan Bahrain di kandangnya, kita yang sudah unggul 2-1 terpaksa harus menerima hasil seri, meskipun sangat kontroversial atas kepemimpinan wasit asal Oman, Ahmad Al Kaf yang menambahkan pertandingan dari 96 menit menjadi 99 menit.
Selain kelebihan STY yang sudah mengenal watak pemain Indonesia selama empat tahun terakhir, juga yang menjadi kendala adalah persoalan komunikasi antara pemain dengan pelatih. STY yang berkomunikasi dalam bahasa Korea, sama sekali tidak paham bahasa Inggris apalagi bahasa Indonesia, harus menggunakan penerjemah untuk mengomunikasikan strategi dan taktiknya kepada pemain. Penggunaan penerjemah hanya dapat mengalihbahasakan pesan STY secara verbal, akan tetapi secara nonverbal tidak akan pernah maksimal. Persoalannya, bahasa tubuh berkaitan dengan strategi dan taktik ada pada pelatih, bukan pada penerjemahnya.
Persoalan komunikasi ini selalu membuat kita bertanya-tanya, bagaimana STY dapat mengomunikasikan semua yang hendak dilakukannya terhadap para pemain tanpa bahasanya dipahami pemain. Komunikasi nonverbal yang dilakukannya di luar lapangan, juga tidak maksimal karena hanya merupakan gerak tubuh tanpa verbalisme.
Asa pelatih baru