Yakobus menilai aksi penyegelan ini tidak hanya melanggar aturan karena dilakukan tanpa izin kepolisian, tetapi juga sarat kepentingan politis. Ia menyoroti alasan-alasan yang digunakan oleh para demonstran, seperti isu BPJS dan sertifikat yang hilang, sebagai tuntutan yang tidak relevan.
“Masalah-masalah yang dipersoalkan sudah dijelaskan oleh Kepala Desa, tetapi tetap tidak diterima. Kalau memang ada dugaan pelanggaran, kan ada Inspektorat. Sampai saat ini pun Inspektorat tidak pernah memanggil Kepala Desa terkait hal tersebut,” ujarnya.
Yakobus mempertanyakan sikap aparat penegak hukum yang terkesan pasif saat penyegelan terjadi. “Mengapa aparat yang hadir tidak bertindak ?. Ini menunjukkan ada hal yang tidak wajar,” tegasnya.
Harapan untuk Pemda dan Penegak Hukum
Yakobus menekankan pentingnya tindakan tegas dari Polres Luwu dan Pemerintah Kabupaten Luwu untuk membuka penyegelan kantor desa. Ia mengingatkan, pelayanan publik yang terganggu bertentangan dengan visi Presiden RI Prabowo Subianto dalam meningkatkan pelayanan maksimal bagi masyarakat.
“Kasihan masyarakat yang dirugikan karena tidak bisa mendapatkan pelayanan. Pemda Luwu harus segera bertindak tegas. Jangan sampai peristiwa ini dianggap mengabaikan program Presiden yang fokus pada kesejahteraan rakyat,” tutup Yakobus.
Forum FM-AMH mendesak agar konflik ini segera diselesaikan demi memulihkan aktivitas pelayanan masyarakat yang terhenti selama hampir sebulan.
Sementara itu, masyarakat Lampuara masih menanti tindakan nyata dari pihak terkait untuk mengembalikan fungsi kantor desa sebagai pusat pelayanan mereka.(Hdr)